Sejarah Filsafat Ilmu dan Perkembangannya dari Zaman Tunani Kuno sampai Abad Modern

Sejarah Filsafat Ilmu dan Perkembangannya dari Zaman Yunani Kuno sampai Abad Modern

BAB I

PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang

Perkembangan ilmu pengetahuan sampai sekarang ini yang begitu pesat tidak dapat dilepaskan dari pengaruh filsafat. Begitu canggihnya teknologi serta semakin mendalamnya kajian ilmu pengetahuan merupakan hasil dari pemikiran mendalam tentang relevansi perkembangan zaman dengan kebutuhan akan sesuatu yang lebih dari pada sebelumnya. Hasilnya dapat kita jumpai sekarang dalam bentuk spesialisasi-spesialisasi atau cabang-cabang ilmu pengetahuan yang semakin banyak, bahkan belakangan muncul sub-spesialisasi dalam suatu cabang ilmu pengetahuan.

Filsafat secara umum mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Filsafat dan ilmu adalah dua kata yang saling berkaitan baik secara substansial maupun secara historis. Lahirnya suatu cabang ilmu tidak dapat dipisahkan dari peranan filsafat, begitu pula sebaliknya, perkembangan yang secara pesat terjadi dalam dunia ilmu pengetahuan berimplikasi pada semakin kuatnya keberadaan filsafat. Hal inilah kemudian yang menimbulkan banyak pertanyaan tentang kapan filsafat lahir, dan bagaimana perkembangan yang terjadi dalam dunia filsafat –khususnya filsafat ilmu– dari masa ke masa. Filsafat ilmu tentu tidak secara tiba-tiba berada pada taraf seperti sekarang ini, ia mengalami evolusi dari masa ke masa. Penggalian terhadap sejarah perkembangan filsafat ilmu, dapat digunakan sebagai landasan berfikir untuk perkembangan ilmu pengetahuan di masa yang akan datang.

B.    Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

1.    Apa pengertian filsafat ilmu?
2.    Bagaimana sejarah filsafat ilmu?
3.    Bagaimana sejarah perkembangan filsafat ilmu dari zaman Yunani kuno sampai abad modern?

BAB II

PEMBAHASAN


A.    Pengertian Filsafat Ilmu

Istilah filsafat ilmu bisa ditinjau dari dua segi, semantik (bahasa) dan praktik. Berdasarkan segi bahasa, perkataan filsafat berasal dari kata Arab falsafah, yang berasal dari bahasa Yunani, philosophia mempunyai dua kata dasar, yaitu philos yang berarti cinta, suka (loving) dan Sophia yang berarti pengetahuan, hikmah (wisdom). Jadi philosophia berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta kepada pengetahuan. Dari segi praktis filsafat berarti alam pikiran atau alam berfikir. Berfilsafat artinya berfikir. Namun tidak semua berfikir adalah berfilsafat. Berfilsafat maknanya berfikir dengan sungguh-sungguh.  Sedangkan ilmu, merupakan cabang pengetahuan yang memiliki ciri-ciri tertentu. Meskipun secara metodologis ilmu tidak membedakan antara ilmu-ilmu alam dengan ilmu-ilmu sosial, namun karena permasalahan-permasalahan teknis yang bersifat khas, maka filsafat ilmu ini sering dibagi menjadi filsafat ilmu-ilmu alam dan filsafat ilmu-ilmu sosial. 

  Ilmu memang berbeda dari pengetahuan-pengetahuan secara filsafat, namun tidak terdapat perbedaan yang prinsipil antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, di mana keduanya mempunyai ciri-ciri keilmuan yang sama. Filsatat ilmu merupakan telaah secara filsafat yang ingin menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat dari ilmu. 

B.    Sejarah Filsafat Ilmu

Filsafat muncul sejak manusia mulai memikirkan dan berdiskusi akan keadaan alam, dunia dan lingkungan di sekitar mereka dan tidak menggantungkan kepada agama untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Sejarah mencatat, filsafat terindikasi pertama dipakai oleh orang-orang Yunani kuno. Oleh karenanya, setiap berbicara tentang sejarah filsafat nama Yunani kuno tidak dapat dipisahkan darinya.

Yunani kuno merupakan tempat dimana filsafat dikenal dan dikembangkan. Dari daerah tersebut lahir pakar-pakar filsafat yang masyhur sampai abad ini, sebut saja Socrates, Plato, Aristoteles dan lain-lain. Hal tersebut pula yang menjadikan Yunani sebagai kiblat ilmu pengetahuan sampai sebelum abad pertengahan, bahkan menjadi inspirasi bagi masa keemasan Islam. Secara umum karakteristik filsafat Yunani kuno adalah rasionalisme, yaitu suatu pemahaman tentang sebuah pengetahuan yang lebih mengutamakan akal (logika). Dengan meninggalkan kepercayaan pada tahayyul yang cenderung irrasional dan beralih pada paradigma rasional, ilmu pengetahuan dapat berkembang dengan pesat. 

Setelah masa keemasan tersebut, sejarah filsafat mencatat abad kegelapan filsafat yang terjadi pada abad pertengahan (400 M – 1500 M). Pada rentang waktu tersebut, filsafat cenderung digunakan hanya sebagai alat justifikasi atau pembenaran terhadap ajaran agama. Sejauh filsafat dapat melayani ideologi agama, maka filsafat akan diterima, namun sebaliknya apabila filsafat tidak dapat melayani ideologi agama dan bertentangan dengan ajaran gereja, maka akan ditolak. Pada masa tersebut kebebasan berfikir logis mulai terbatasi, yang berakibat pada keterpurukan filsafat. 

Masa kegelapan filsafat pada abad petengahan (400 M – 1500 M) tersebut hanya terjadi di dunia barat. Sebaliknya, di timur (Islam) sedang gencar-gencarnya mempelajari filsafat yang berujung pada masa kejayaan Islam. Peradaban Islam mengalami perkembangan pesat yang disebabkan kemauan mereka mempelajari filsafat barat. Mereka secara besar-besaran menerjemahkan karya filsafat barat dan berbagai temuan ilmiah lainnya untuk dipelajari.  Namun sayangnya, masa keemasan Islam itu juga secara berangsur-angsur mulai runtuh, meskipun mampu menggugah dunia Barat untuk kemudian bangkit kembali (Renaisance).

Pengaruh ilmu pengetahuan Islam atas Eropa itu sudah berlangsung sejak abad 12 M tersebut menimbulkan gerakan kebangkitan kembali (renaissance) peradaban Yunani di Eropa pada abad ke-14 M. Berkembangnya pemikiran Yunani di Eropa kali ini adalah melalui terjemahan-terjemahan Arab yang dipelajari dan kemudian diterjemahkan kembali ke dalam bahasa latin.  Gerakan-gerakan itu adalah kebangkitan kembali kebudayaan Yunani Klasik (renaissance) pada abad ke-14 M, rasionalisme pada abad ke-17, dan pencerahan (aufklarung) pada abad ke-18 M. 

Salah satu ciri khas masa khas Renaissance dan Humanisme dunia Barat sejak abad ke-15 ialah menonjolnya manusia sebagai pribadi perseorangan dan sebagai yang berkuasa. Ciri itu antara lain menampakkan diri dalam bidang seni, politik, filsafat, agama maupun dalam gerakan-gerakan melawan agama, ilmu pengetahuan, dan teknik. Refleksi teoretis yang bersifat falsafi dan yang menghasilkan suatu filsafat ilmu pengetahuan baru menyusul beberapa waktu sesudah ilmu-ilmu modern itu lepas landas.

C.    Sejarah Perkembangan Filsafat Ilmu

Secara umum, sejarah perkembangan filsafat ilmu berdasarkan periodeisasi dapat dikelompokkan ke dalam empat periode. Periode pertama terjadi pada zaman yunani kuno, periode kedua terjadi pada abab pertengahan dimana menjadi abad kegelapan bagi dunia Barat namun menjadi abad kejayaan dunia Islam, periode ketiga menjadi masa dimana terjadi kebangkitan kembali (Renaisance) dan zaman modern, serta periode keempat yang disebut sebagai zaman kontemporer.  Perkembangan sampai dengan abad ke 19 (periode ketiga) secara lebih dalam akan dijelaskan sebagai berikut:

1.    Zaman Yunani Kuno

Zaman Yunani Kuno di pandang sebagai zaman keemasan Filsafat, karena pada masa ini orang memiliki kebebasan untuk mengungkapkan ide-ide atau pendapatnya. Yunani pada masa itu dianggap sebagai gudang ilmu dan filsafat, Karena bangsa Yunani pada masa ini tidak lagi mempercayai mitologi-mitologi. Bangsa Yunani juga tidak dapat menerima pengalaman yang didasarkan pada sikap receptive attitude (sikap menerima begitu saja), melainkan menumbuhkan sikap an inquiring attitude (suatu sikap yang senang menyelidiki sesuatu secara kritis). Sikap belakangan inilah yang menjadi cikal bakal tumbuhnya ilmu pengetahuan modern. 

Sikap kritis inilah yang menjadikan bangsa Yunani tampil sebagai ahli pikir-ahli pikir terkenal sepanjang masa. Beberapa tokoh yang terkenal pada masa ini antara lain: Thales, Sokrates, Leucippus, Plato, Aritoteles.

1.    Thales (624 - 548 SM)

Ia mempersoalkan asal alam semesta (Arkhe). Menurut Thales asal alam semesta itu adalah air. Ada tiga alasan munculnya persoalan tentang asal alam semesta ini. Pertama, sejak Thales mempersoalkan asal alam semesta, maka persoalan tersebut merupakan suatu pertanyaan yang terus menerus dipersoalkan, dan dipandang sebagai persoalan abadi (perennial problems), yang disebut pula sebagai pertanyaan yang signifikan (a significant question). Kedua, pertanyaan yang diajukan Thales tersebut menimbulkan suatu konsep baru, yaitu “suatu hal tidak begitu saja ada, melainkan terjadi dari sesuatu”. Bertitik tolak dari sini timbul suatu konsep tentang perkembangan, suatu  evolusi, genesis. Ketiga, pertanyaan demikian hanya timbul dalam pemikiran kalangan tertentu, bukan masyarakat awam, melainkan masyarakat inyelektual yang berfikir lebih maju.

2.    Sokrates (470 – 399 SM)

Ia tidak pernah meninggalkan tulisan, namun pemikirannya dikenal melalui dialog-dialog yang ditulis oleh muridnya Plato. Metode Sokrates dikenal sebagai Maiutike Tekhne (ilmu kebidanan), yaitu suatu metode dialektika untuk melahirkan kebenaran. Sokrates selalu mendatangi orang yang dia pandang memiliki otoritas keilmuan dalam bidangnya untuk diajak berdiskusi tentang pengertian-pengertian tertentu.

3.    Democritus (460 – 370 SM)

Ia dikenal sebagai Bapak Atom pertama, karena Democritus inilah yang memperkenalkan konsep atom. Iamenjelaskan bahwa alam semesta ini sesungguhnya terdiri atas atom-atom. Atom adalah materi kecil, yang tidak dapat dibagi lagi. Bentuk atom itu bermacam-macam, dan benda-benda it uterus menerus bergerak tanpa ketentuan. Gerakitu menimbulkan benturan, sehingga terjadi pusaran-pusaran pergerakan seperti gerak pusaran air. Berdasarkan pusaran tersebut, maka terjemalah beraneka ragam benda. Di luar benda-benda tiada sesuatu, kecuali kehampaan.

4.    Plato (427 – 347 SM)

Plato bertitik tolak dari polemik antara Parmenides dengan Heraklitos. Parmenides menganggap bahwa reilitas itu berasal dari hal Satu (the One), yang tetap, tidak berubah; sedangkan Heraklitos bertitiktolak dari hal Banyak (the Many), yang selalu berubah.plato memadukan kedua pandangan tersebut dan menyatakan, bahwa disamping hal-hal beranekaragam dan yang dikuasia gerak serta perubahan-perubahan itu sebagaimana yang diyakini oleh Heraklitos tentu ada yang tetap, yang tidak berubah sebagaimana yang diyakini oleh Parmenides. Plato menunjukkan bahwa yang serba berubah itu dikenal oleh pengamatan, sedangkan yang tidak berubah dikenal oleh akal.

Pemikiran metafisika Plato terarah pada pembahasan mengenai Being (hal ada) dan becoming (menjadi). Plato adalah filsuf yang pertama kali membangkitkan persoalan Being dan mempertentangkannya denga becoming. Plato menemukan bahwa “becoming (hal menjadi) yakni dunia yang berubah tidak memuaskan atau tidak memadai sebagai objek pengetahuan; karena bagi Plato setiap bentuk pengetahuan bersesuaian dengan suatu jenis objek.

Tujuan utama filsafat menurut plato adalah penyelidikan pada entitas, seperti apa yang dimaksudkan dengan keadilan, kecantiakn, cinta hasrat, kesamaan, kesatuan.

5.    Aristoteles (384 – 322SM)

Aristoteles adalah murid Plato dan penasihat serta guru Iskandar Agung. Ia meneruskan sekaligus menolak pandangan Plato. Ajaran Aristoteles paling tidak dapat diklasifikasi kedalam tiga bidang, yaitu: metafisika, logika dan biologi.

1)     Metafisika

Pandangan Aristoteles tentang metafisika berbeda dengan pandangan Plato. Ia menolakpandangan Plato tentang ide-ide. Aristoteles lebih mendasarkan filsfatnya pada realitas itu sendiri. Kenyataan bagi Aristoteles adalah konkret ini dan itu. Ide umum seperti : “manusia”,, “pohon”, dan lain-lain. Seperti yang dikatakan Plato tidak terdapat dalam kenyataan konkret. White menunjukkan beberapa istilah yang sering digunakan oleh Aristoteles untuk membahas tentang realitas yang azali, dengan sepuluh nama yang berbeda seperti: “pengetahuan yang kita cari”, “kebijaksanaan”, “pengetahuan tentang sebab”, “studi tentang hal ada sebagai ada”, “studi tentang Ousia”, studi tentang hal abadi dan hal yang tidak dapat digerakkan, “theologi”.

2)    Logika 

Aristoteles menyusun buku tentang logika untuk menjelaskan cara menarik kesimpulan (inference) secara valid. Logika Aristoteles didasarkan pada susunan pikir (syllogisme). Pada dasarnya syllogism itu terdiri dari tiga pernyataan, yaitu: Pertama, premis mayor sebagai pernyataan pertama yang mengemukakan hal umum yang telah diakui kebenarannya. Kedua, premis minor sebagaipernyataan kedua yang bersifat khusus dan lebih kecil lingkupnya dari pada premis mayor. Ketiga, kesimpulan atau konklusi (conclusion) yang tertari berdasarkan kedua premis tersebut di atas. Dengan demikian silogisme merupakan suatu bentuk jalan yang bersifat deduktif, yang kebenarannya bersifat pasti.

3)    Biologi

Aristoteles tidak hanya dikenal sebagai filsuf, tetapi juga adalah seorang ilmuan kenamaan pada zamannya. Salah satu bidang ilmu yang banyak mendapat perhatiannya adalah biologi. Dalam embriologi, ia melakukan pengamatan (observasi) perkembangan telur sampai terbentuknya kepala ayam. Ia juga melakukan pemerikasaan anatomi badan hewan, dan lain sebagainya. Aristoteles mementingkan aspek pengamatan sebagai suatu sarana untuk membuktikan kebenaran sesuatu hal, terutama dalam ilmu-ilmu empirik.

2.    Abad Pertengahan

Membahas sejarah filsafat tidak bisa dilakukan  tanpa membahas perkembangan filsafat dalam peradaban Islam. Hal ini jelas sebab kaum Musliminlah yang menyelamatkan warisan filsafat Yunani selain mengembankan filsafat mereka sendiri ketika peradaban Barat jatuh dalam kubangan Abad Kegelapan. Sejarawan filsafat Islam, Majid Fakhry, menyebutkan bahwa momentum perkembangan filsafat Islam terjadi di masa kekuasaan Dinasti Abbasiyah, yakni abad ke 3 Hijriyah.  Kemunculan itu ditandai dengan kiprah filsuf Arab pertama, al-Kinid pada tahun 866 M.  Pada tahun-tahun ini, di Eropa, justru sudah lupa pada warisan Yunani. 

Sebagai penyelamat tradisi filsafat Yunani, para filsuf Islam kerap dianggap hanya “terjemahan” filsuf Yunani, tidak punya gagasan sendiri. Anggapan meremehkan ini misalnya dianut oleh Ernest Renan (1823 – 1892 M) dan Pierre Duhem (1861 – 1916 M).   Anggapan  seperti ini membuat filsafat Islam dianggap tidak penting dan hanya dikaji dalam konteks sejarah filsafat saja. Kontennya tidak banyak dieksplorasi.  

Meski berkembang bersamaan dengan masuknya filsafat Yunani ke dunia Islam, filsafat Islam memiliki keunikannya sendiri. Menurut  Oliver Leaman, pemikiran fiosofis tumbuh dalam tubuh umat Islam secara alami dalam usaha mereka memahami petunjuk al-Qur’an dan Sunnah, bukan buah dari penerjemahan teks-teks Yunani.  Lebih jauh lagi, Leaman menyatakan bahwa para filsuf Muslim berhasil menyelesaikan persoalan-persoalan filsafat yang menjadi perdebatan di kalangan filsuf Yunani sendiri.  Keunikan filsafat Islam juga bisa dilihat pada filsafat pengetahuan atau epistemologinya.

A.    Manusia Bisa Mengetahui

Mungkinnya ilmu diperoleh adalah salah satu diskursus penting dalam filsafat ilmu Islam klasik. Hal itu disebabkan karena dalam sejarahnya, umat Islam pernah dihadapkan pada tantangan pemikiran kaum sofis yang menafikan ilmu pengetahuan. Mereka adalah pewaris ajaran skeptisisme relativisme dari filsafat Yunani. Ulama Islam menyebut mereka kaum shufastaiyyah. Ibnul Jauzi menyebutkan bahwa mereka meyakini segala esuatu (al-asya’) itu tidak memiliki hakikat yang tetap.  Implikasi dari keyakinan ini adalah bahwa seseorang tidak bisa memiliki imu atas sesautu sebab hakikatnya selalu berubah. Apabila hakikat sesuatu terus berubah maka kita tidak akan mungkin mengetahuinya sebab syarat ilmu adalah mengetahui sesuatu sebagaimana adanya. Maka perubahan hakikat akan membatalkan ilmu.  Pendirian ini, bertentangan kepada defenisi ilmu yang telah disebutkan di atas.

Kaum sufastaiyyun  mendapatkan perhatian khusus dari banyak ulama.  Imam Ibnul ‘Arabi di dalam karyanya al-‘Awasim min al-Qawasim berbicara tentang kaum shufasta ini .;  Selelompok orang berkata bahwa kita tidak bisa memahami ataupun mengetahui. Manusia hanya berhayal mengetahui sesuatu. Tidak ada jaminan kebenaran bagi simpulannya.   Kelompok ini menurut  Ibnul Arabi harus kita jauhi sebab akan berakibat pada rusaknya iman.  Ibnul Arabi menegaskan bahwa hakikat sesuatu itu tetap, meskipun mungkin suwar/bentuknya berubah-ubah. Jadi misalnya perubahan manusia dari muda menjadi tua, atau dari keadaan diam menjadi bicara, bukanlah perubahan hakikat, melainkan perubahan bentuk saja. Perubahan itu disebabkan gerak dan waktu. Sedangakn hakikat manusia tetap. Sehingga kita tetap bisa mengetahui manusia.  

Kemungkian manusia untuk mencapai ilmu bahkan dimasukan di dalam teks pokok akidah Islam. Kasus ini bisa dilihat pada karya teolog Maturidiy, Imam an-Nasafi. Di dalam buku akidah yang ditulisnya, al-Aqaid an-Nasafiyah, beliau menegaskan pada pembukannya bahwa posisi ahlul haq adalah meyakini bahwa manusia mungkin mengetahui sebab hakikat sesuatu itu tetap.   Menjelaskan pernyataan ini at-Taftazani mengemukakan tiga keberatak kamu Shopis pada masanya terhadap kepastian ilmu yakni ; pertama, apabila ilmu dianggap adalah hasil dari indra (al-hissiyat) maka indra bisa saja salah. Kedua, apabila ilmu dianggap sebagai hasil dari persepsi yang segera kita ketahui (al-badihi) maka bisa saja setiap orang akan memiliki persepsi yang berbeda tentang sesuatu. Ketiga, ilmu bisa diperoleh dengan penalaran rasional melalui silogisme. Tapi hal ini juga tidak mungkin menurut mereka sebab premis-premis yang berbeda di antara orang-orang juga akan mengahsilkan simpulan yang beragam. Olehnya ilmu yang pasti terhadap sesuatu, yang benar-benar disepakati tidak mungkin terjadi.  

Imam at-Taftazani menjawabnya sebagai berikut ; pertama, kesalahan yang muncul dari pancaindra terjadi karena adanya alasan tertentu atau penyebab tertentu. Apabila sebab itu hilang, maka indra akan kembali berfungsi baik. Olehnya, kesalahan indra pada saat adanya sebab tertentu tersebut, tidak bisa menafikan kemungkinan indra untuk benar pada saat tidak adanya penghalang/penyebab ia malfungsi. Kedua, keslahan persepsi tentang sesuatu secara badihi terjdi karena kurangnya pengenalan seorang tersebut terhadap subjek, atau karena terjadi kesukaran sehingga ia susah membentuk persepsi yang benar dalam pikirannya. Olehnya hal ini tidak bisa menajdi alasan menafikan kemungkinan mampunya seseorang untuk membentuk persepsi yang benar tentang sesuatu dalam pikirannya bila ia terbebas dari halangan-halangan tadi. Ketiga bila ada yang salah dalam penyimpulan silogisme karena salah membentuk premis, maka itu tidak menafikan kemungkinan orang lain yang premisnya benar untuk sampai pada simpulan silogisme yang benar.

3.    Zaman Renaisans dan Modern

Micheler, adalah sejarawan yang menggunakan istilah renaisans pertama kali. Kata renaisans ini biasanya dipake untuk mengungkapkan berbagai periode kebangkitan intelektual, khususnya di Eropa pasca-abad kegelapan filsafat yang menyelimuti mereka pada abad pertengahan (400 M – 1500 ). Agak sulit menentukan garis batas yang jelas antara abad pertengahan, zaman renaisans dan zaman modern. Sementara orang menganggap bahwa zaman modern hanyalah perluasan dari zaman renaisans. 

Renaisans adalah periode perkembangan peradaban yang mulai muncul setelah abad pertengahan. Renaisans merupakan era sejarah yang penuh dengan kemajuan dan perubahan yang mengandung arti pbagi perkembangan ilmu. Ciri utama renaisans yaitu humanisme, individualisme, sekularisme, empirisme dan rasionalisme.  Sebab yang menimbulkan adanya renaisans ini adalah pengaruh ilmu pengetahuan Islam atas eropa yang sudah berlangsung sejak abad e-12 M. Berkembangnya pemikiran Yunani di Eropa kali ini adalah melalui terjemahan-terjemahan Arab yang dipelajari dan kemudian diterjemahkan kembali ke dalam bahasa latin. 

Walaupun pada akhirnya Islam terusir dari Eropa (Spayol) dengan cara yang cukup kejam, tetapi ia telah membidani gerakan-gerakan penting di Eropa. Gerakan-gerakan tersebut adalah kebangkitan kembali kebudayaan Yunani Klasik (Renaisance) pada abad ke-14 M, rasionalisme pada abad ke-17 M, dan pencerahan (aufklarung) pada abad ke-18 M. Mulai saat itulah ilmu pengetahuan semakin berkembang dengan pesat hingga sekarang. 

DAFTAR PUSTAKA


H.A. Mustofa, 2004, Filsafat Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 2004)

Jujun S.Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta : Pancaranintan Indahgraha, 2007)

Anwar Musaddad, “Sejarah Perkembangan Filsafat Ilmu dan Alirannya”.
Rizal Mustansyir dan Misbahul Munir, Filsafat Ilmu, Cet II, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 

K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, (Yogyakarta : Kanisius, 1986)

C.Verhaak, R.Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan telaah atas cara kerja ilmu-ilmu, (Jakarta : Gramedia, 1989)
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013)

Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu (Yogyakarta, Liberty Yogyakarta, cet keenam, 2012)

Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, (New York: Columbia University Press, 2004)

Khudori Soleh, Filsafat Islam dari Klasik Hingga Kontemporer, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013)

Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, (New York : Cambridge University Press, 2004)

Jamaluddin Abul Faraj Abdurrahman Ali bin Muhammad al-Jauzi, Talbis al-Iblis, (Beirut : Dar al-Fikr, 2001) Vol 1

Teks asli berbunyi قالت طائفة: لا معلوم ولا مفهوم، وإنما المرء بوهة أو بوم  وما تشبثوا به خيالات لا تحقيق لها . Lihat, Muhammad bin Abdillah  Abu Bakar Ibnul Arabi al-Maliki, an-Nash al-Kamil li Kitab al-‘Awashim min al-Qawashim, (Kairao : Dar at-Turats, tt) vol I 

 Sa’ad ad-Din at-Taftazani, Syarh Aqaid an-Nasafiyah, terj Earl Edgar Elder, A Commentary on the Creed of Islam, (New York : Columbia University Press, 1950) 



Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Sejarah Filsafat Ilmu dan Perkembangannya dari Zaman Tunani Kuno sampai Abad Modern "

Posting Komentar