ANALISIS KEBIJAKAN GURU PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA ORDE BARU

ANALISIS KEBIJAKAN GURU PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA ORDE BARU

(M.Juwaini)


I.    Pembahasan

A.    Makna Orde baru

Sejak ditumpasnya peristiwa G. 30 S/PKI pada tanggal 1 Oktober 1965, bangsa Indoneia telah memasuki fase yang baru yang diberi nama Orde Baru.
Orde Baru adalah:

1.    Sikap mental yang positif untuk menghentikan dan mengoreksi segala penyelewengan terhadap Pancasila dan UUD 1945.

2.    Memperjuangkan adanya suatu masyarakat yang adil dan makmur, baik material maupun spiritual melalui pembangunan

3.    Sikap mental mengabdi kepada kepentingan rakyat dan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.

Dengan demikian, orde baru bukanlah merupakan golongan tertentu, sebab Orde Baru bukan merupakan pengelompokan fisik. Perubahan Ore Lama (sebelum 30 september 1965) menjadi Orde Baru berlansung melalui kerjasama erat antara pihak ABRI atau tentara dan Gerakan Gerakan Pemuda, yang disebut angkatan 1966. Para pemuda itu bergabung dalam KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dan Kappi (Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia. Dalam KAMI yang memegang peranan penting adalah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang sangat kuat serta mempunyai hubungan yang tidak resmi dengan Masyumi dan organisasi Islam lainnya. Sejak Tahun 1966, para mahasiswa ini mulai melakukan demonstrasi di jalan-jalan, sebagian secara spontan, sebagian lagi atas perencanaan pihak lain. Mula-mula mereka memprotes segala macam penyalahgunaan kekuasaan, harga yang meningkat, korupsi yang merajalela dan sebagainya. Dalam bulan-bulan berikutnya, kampanye tersebut berkembang menjadi protes terhadap Soekarno, dengan cara penghinaan yang sebelumnya ytdak terbayang akan dialamatkan kepadanya. 

Ada beberapa karakteristik pemerintahan Orde baru yang telah berlansung selama 32 tahun, di antaranya adalah:

a.    Pemerintahan Orde Baru adalah pemerintahan yang kuat dan menghendaki stabilitas nasional yang mantap.

b.    Pemerintahan Orde Baru adalah pemerintahan yang dipimpin serta didukung oleh kekuatan militer yang bekerja sama dengan tehnokrat dan birokrat sipil.

c.    Pemerintahan Orde Baru melengkapi dirinya dengan aparat keamanan represif serta aparat politis-ideologis untuk melestarikan dan memproduksi kekuasaannya.

d.    Pemerintahan Orde Baru sejak awal kebangkitannya mendapatkan dukungan dari kapitalisme internasional, sehingga pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai rata-rata di atas 5% pertahun.

e.    Jika pada suatu saat pemerintahan Orde baru mengalami instabilitas, maka hal ini terjadi bukan karena menguatnya posisi politik masyarakat, melainkan lebih disebabkan oleh faktor dari dalam tubuh negara sendiri dan faktor dunia internasional.

B.    Kebijakan Pendidikan Nasional

Pada ketetapan MPRS Nomor XXVII/MPRS/1966, Bab II pasal 3 disebutkan tentang tujuan Pendidikan Nasional Indonesia yang dimaksudkan membentuk manusia Pancasila sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan, seperti yang dikehendaki oleh Pembukaan UUD 1945. Pembentukan manusia Pancasila sejati sangat diperlukan untuk mengubah mental masyarakat yang sudah banyak mendapat indoktrinisasi Manipol Usdek pada zaman Orde Lama, pemurnian semangat Pancasila dianggap sebagai jaminan untuk tegaknya Orde Baru.

Dalam pasal 4 TAP MPRS Nomor XXVI/MPRS/1966 selanjutnya disebutkan tentang isi pendidikan untuk mencapai dasar dan tujuan pendidikan, yaitu:

1.    Mempertinggi mental, moral, budi pekerti dan memperkuat keyakinan beragama.
2.    Mempertinggi kecerdasan dan keterampilan.
3.    Membina dan mengembangkan fisik yang kuat dan sehat.

MPRS hasil Pemilu 1973 mengeluarkan ketetapan Nomor IV/MPRS/1973 yang juga dikenal dengan GBHN yang merumuskan pula tujuan Pendidikan Nasional sebagai berikut:

“Pendidikan pada hakikatnya adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah berlansung seumur hidup.Oleh karenanya agar pendidikan dapat dimiliki oleh seluruh rakyat sesuai dengan kemampuan masing-masing individu, maka pendidikan adalah tanggung jawab keluarga, masyarakat dan pemerintah. Pembagunan  di bidang pendidikan didasarkan atas falsafah Negara Pancasila dan diarahkan untuk membentuk manusia-manusia pembanguan yang berpancasila dan diarahkan untuk membentuk manusia Indonesia yang sehat jasmani dan rohaninya, memiliki pengetahuan dan keterampilan, dan mengembangkan kreativitas dan tanggung jawab, dapat menyerukan sikap demokrasi dan penuh tenggang rasa, dapat mengembangkan kecerdasan  yang tinggi dan disertasi budi pekerti yang luhur, mencintai bangsanya dan mencintai sesama manusia sesuai dengan ketentuan yang termaksud dalam UUD 1945. 

Rumusan-rumusan selanjutnya mengenai Pendidikan Nasional termuat dan ditetapkan dalam GBHN melalui ketetapan MPR, tahun 1978, 1983,1988 dan 1993. Rumusan tersebut semakin sempurna dengan lahirnya UU R.I. Nomor 2 tahun 1989 tentang system pendidikan Nasiona dengan dilengkapi beberapa peraturan pemerintah dalam kerangka pelaksanaannya. Menurut UU Nomor 2 tahun 1989, pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupa bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manuisa yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab masyarakat dan kebangsaan. Oleh karena itu, dengan berlakunya undang-undang serta peraturan-peraturan pelaksanaannya, maka penyelenggaraan pendidikan Indonesia dari tingkat Prasekolah sampai dengan Pendidikan Tinggi harus mengacu dan berpedoman kepada undang-undang tersebut. 

Ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dari Undang-Undang Sistem Pendidikan nasional ini, yaitu dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila di bidang pendidikan, maka pendidikan nasional mengusahakan:

1.    Pemberian dukungan bagi perkembangan masyarakat, bangsa dan Negara Indonesia yang terwujud dalam ketahanan nasional yang tangguh, yang mengandung terwujudnya kemampuan bangsa menangkal setiap ajaran, paham dan ideology yang bertentangan denga Pancasila.

2.    Pembentukan manusia Pancasila sebagai manusia pembanguan yang tinggi kualitasnya yang mampu mandiri.

C.    Pendidikan Islam dan Sistem Pendidikan Nasional

Adanya peluang dan kesempatan untuk berkembangnya pendidikan Islam secara trintegrasi dalam system pendidikan nasional tersebut, dapat kita lihat dari beberapa pasal, yaitu:

1.    Pasal 1 ayat 2, yaitu, Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berakar pada kebudayaang bangsa Indonesia dan yang berdasarkan pada Pancasila dan UUd 1945. Tidak bias dipungkiri bahwa Pendidikan Islam, baik secara system maupun institusinya, merupakan warisan budaya bangsa, yang berurat akar pada masyarakat bangsa Indonesia. Dengan demikian, jelaslah bahwa pendidikan Islam merupakan bagian integral dari system pendidikan nasional.

2.    Pasal 4 tentang Tujuan Pendidikan Nasional, yaitu: Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, keseharan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Nilai-nilai dan aspek-aspek tujuan pendidikan nasional tersebut sepenuhnya adalah nila-nilai dasar ajaran Islam, dan tidak ada yang bertentangan denga tujuan pendidikan Islam. Oleh karena itu, perkembangan pendidikan Islam mempunyai peran yang menentukan dalam keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan nasional tersebut.

3.    Pada pasal 10 dinyatakan bahwa pendidikan keluarga merupakan bagian dari jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan dalam keluarga dan memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral dan keterampilan. Kita ketahuai bahwa keluarga merupakan lembaga pendidikan yang pertama dan utama menurut ajaran Islam. Dengan masuknya lembaga pendidikan keluarga menjadi bagian dasar system pendidikan nasional, maka pendidikan keluarga Muslim pun menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Sistem Pendidikan Nasional.

4.    Pasal 11 ayat 1 disebutkan “Jenis pendidikan yang termasuk jalur pendidikan sekolah terdiri atas pendidikan umum, pendidikan kejuruan pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik dan pendidikan professional.” Yang dimaksud dengan pendidikan agama sebagaimana dijelaskna pada ayat tersebut adalah, “  pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan khusus tentang ajaran agama yang bersangkutan.” Setiap orang Islam berkepentingan dengan pengetahuan tentang ajaran.ajaran Islam, terutama yang berhubungan dengan nilai-nilai keagamaan, moral, dan social budayanya. Oleh karena itu, pendidikan Islam dengan lembaga-lembaganya tidak bias dipisahkan dari siste pendidikan nasional.

5.    Pasal 39 ayat 2 dinyatakan: Isi kurikulum setiap jenis jalur serta jenjang pendidikan wajib memuat pendidikan Pancasila, pendidikan agama, dan pendidikan kewarga negaraan. Dalam hal ini dijelaskan bahwa pendidikan agama, termasuk pendidikan agama Islam merupakan bagian dari dasar dan inti kurikulum pendidikan nasional. Dengan demikian, pendidikan agama Islam pun terpadu dalam system pendidikan nasional.

6.    Kemudian pasal 47, terutama ayat 2 dinyatakan bahwa ciri khas satuan pendidikan yang diselenggarakan oelh masyarakat tetap diperhatikan. Dengan pasal ini, satuan-satuan pendidikan islamm, baik yang berada pada jalur sekolah maupun pada jalur luar sekolah tetaptumbuh dan berkembang secara terarah dan terpadu dalam system pendidikan nasional. Sehubungan dengan satuan pendidikan yang berciri khas ini, pada PP nomor 28 menegaskan SD dan SLTP yang berciri khas agama Islam, diselenggarakan oleh Departemen Agama, masing-masing disebut Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs). Dengan demikian, madrasah diakui sama dengan sekolah umum dan merupakan satuan pendidikan yang terintegrasi dalam system pendidikan nasional.

D.    Kebijakan kebijakan pendidikan secara umum pada masa Orde Baru

Berlandaskan pada Ketetapan-ketetapan MPRS tahun 1966 dan Ketetapan-ketetapan MPR tahun 1973, 1978, 1983 sudah banyak kebijakan-kebijakan pendidikan yang telah dikeluarkan yang berujud sebagai Undang-undang. Peraturan Pemerintah, Keputusan-keputusan, Surat Edaran, Proyek Peningkatan dan Pengembangan Pendidikan dalam Sarana/Prasarana, Kurikulum, Metode, dan sebagainya demi mencapai tujuan pendidikan yang telah digariskan dalam TAP-TAP tersebut.

Bertolak pula dari Undang-undang Dasar 1945, khususnya Pasal 31 ayat (1) dan (2) serta tanggapan dan jawaban terhadap masalah-masalah pokok pendidikan yang kita hadapi, yaitu:

a.    Masalah pemerataan pendidikan.
b.    Masalah Peningkatan Mutu Pendidikan.
c.    Masalah Efektifitas dan Efisiensi Pendidikan.
d.    Masalah Relevansi Pendidikan dengan Pembangunan Nasional .

Berbagai upaya telah dijalankan, antara lain:

1.    Pemberantasan buta huruf
2.    pendidikan masyarakat dan pendidikan luar sekolah
3.    Kegiatan-kegiatan inovasi pendidikan.
4.    Pembinaan generasi muda.
5.    Menangkal kenakalan anak/remaja.
6.    Masalah ganja dan narkotika.

Pada poin ke 3 dari upaya-upaya tersebut yaitu kegiatan-kegiatan inovasi pendidikan, yang akan penulis fokuskan adalah pada poin ini adalah inovasi-inovasi yang berkaitan dengan guru, atau kebijakan-kebijakan pendidikan tentang guru pada masa itu. Diantaranya adalah:

1.    Proyek pendidikan guru

Proyek ini sebagai bagian dari suatu kerangka menyeluruh dari karir guru, tidak hanya meliputi pendidikannya tetapi juga pengabdiannya terhadap masyarakat dan pendidikan professional yang didukug oleh suatu penelitian.Tujuan proyek ini adalah dimilikinya lembaga pendidikan guru untuk segala jenis dan tingkat, baik yang bersifat in-service maupun pre-service yang terkoordinasi dalam suatu jaringan yang saling mengisi. Proyek tersebut direncanakan akanmampu mendorong secara kualitatif maupun kuantitatif, terutama kurikulumnya. Oleh karena itu proyek akan menyusun suatu rencana kemudian mengujinya, jika diperlukan akan diadakan perubahan dan penyempurnaan terhadap desain tersebut sehingga guru-guru akan mampu melaksanakan tugasnya sesuai dengan kurikulum yang baru. Selain itu proyek ini akan menggunakan pendekatan dan metode pendidikan guru secara konsisten sesuai denga sekolah-sekolah yang bersangkutan. 

2.    Pemerataan pendidikan dengan teknologi dan komunikasi pendidikan.

Pemanfaatan dan pendayagunaan teknologi komunikasi untuk pendidikan dan pengembangan kebudayaan merupakan salah satu jalan yang ditempuh dalam usaha mencapai cita-cita pembangunan di bidang pendidikan.Cta-cita itu ialah pemerataan kesempatan dan pemerataan mutu pendidikan seluas mungkin bagi setiap masyarakat.Pemerataan pendidikan itu dilaksakan melalui berbagai bentuk kegiatan.Pembagiannya yaitu ada untuk siswa, guru, mahasiswa, dosen, masyarakat umum dan untuk anak-anak.

Khusus untuk guru, sejak tahun 1976 telah dilaksakan penataran untuk meningkatkan mutu para guru SD melalui siaran radio pendidikan di 11 propinsi, yaitu DIY, Jateng, NTB, NTT, Kalbar, Kalteng, Kaltim, Sulteng, Sultra, Maluku, dan Irian Jaya. Para guru ditempat-tempat tersebut mengikuti pembaharuan pendidikan terutama untuk pelaksaan pendidikan kurikulum SD 1975 melalui rangkaian acara program yang disiarkan oleh studio RRI atau studio radio pemerintah daerah setempat, dilengkapi dengan bahan penyerta program slide dan kaset/film. Penataran guru melalui siaran radio pendidikan ini meliputi 6 bidang studi, yaitu Bahasa Indonesia, IPA, IPS, Matematika, Ilmu Keguruan (Pendidikan Umum) dan PMP. Jumlah yang diproduksi kurang lebih 300 buah setahun.

Adapun untuk dosen yaitu diselenggarakannya berbagai latihan dan lokakarya serta seminar dalam pengembangan sistem pengajaran (instructional sistem depelopment) di Perguruan Tinggi. Juga latihan lokakarya mengenai pemilihan, pemanfaatan serta produksi berbagai jenis media untuk menunjang pengembangan proses belajar mengajar di Perguruan Tinggi. 

3.    Penggunaan berbagai media untuk penataran guru.

Penataran guru harus dilaksanakan dengan cara yang terbaik, paling efektif dan efisien sehingga setiap guru akan menguasai bidang studi yang diajarkannya dan memperoleh keterampilan mengajar dan kompetensi yang diperlukan dalam profesinya. Sehubungan dengan ini pemerintah telah menentukan pembangunan pusat penataran guru tingkat nasional di 4 kota dan 6 pusat penataran guru di tingkat daerah. Pusat penataran guru ditingkat nasional dimaksudkan untuk menatar para pelatih, sedangkan pusat penataran guru di daerah untuk menatar semua guru. Proyek ini dibentuk sebagai bagian dari usaha nasional dengan sepenuhnya menggunakan teknologi modern yang ada, seperti radio, televise, satelit domestic, percetakan dan sebagainya. Berdasarkan penelitian, penataran guru ini dilakukan dengan cara yang sangat mahal. Proyek ini diorganisasikan oleh Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah bersama BP3K. 

4.    Proyek Pengembangan Pendidikan Guru (P3G)

Proyek Pengembangan Pendidikan Gurur yang dimulai sejak tahun 1977, memusatkan perhatiannya kepada pembinaan dan perbaikan kualitas pendidikan guru dengan melalui berbagai usaha, di antaranya penataran dan lokakarya (Pen-Lok), penyediaan sarana-sarana yang penting berupa pembanguan-pembanguan Pusat Sumber Belajar (PSB) atau “Learning Resource Centre” (LRC) beserta sisnya dan pengembangan kurikulum pendidikan guru.

Upaya dalam rangka pengembangan dan pembaruan pendidikan guru yang selama ini diketahui oleh masyarakat antara lain:

a.    Mengembangkan materi dan metodologi sesuai dengan yang dibutuhkan oleh kurikulum yang telah dibakukan, serta disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal-hal yang dikembangkan antara lain adalah metode Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) dan pengembangan system Pendidikan Guru Berdasarkan Kemampuan (PGBK).

b.    Melakukan Pen-Lok dosen-dosen IKIP, FIP-Fkg dan guru-guru SPG dalam bidang studi Pendidikan, Matematia, IPA, IPS, dan Bahasa dengan menerapkan CBSA dan PGBK tersebut. 

5.    Program Akta Mengajar V

Program Akta V sesuai dengan PP No. 27/1981 dan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0211/U/1982 pada dasarnya ditujukan kepada seluruh staf akademik pendidikan tinggi. Tetapi sebagai persyaratan administrasi Akta V digunakan sebagai syarat untuk memegang jabatan sebagai Lektor (Golongan IV/a). Dalam kaitan ini Akta V adalah suatu persyaratan yang diharuskan untuk kenaikan pangkat dari III/d ke IV/a (karena persyaratan ujian dinas kenaikan golongan sudah diramu dalam program Akta V), tetapi tidak merupakan persyaratan yang mencukupi karena disamping Akta V masih diperlukan syarat-syarat kekaryaan yang lain yang dinyatakan dalam tatacara kenaikan pangkat (nilai kredit sebagai penjabaran PP. No. 3/1980). Jenis Akta V dibagi atas: Jenis A bagi peserta sarjana non-kependidikan dan jenis B bagi peserta sarjana kependidikan. 

Upaya upaya di atas merupakan kebijakan pendidikan pemerintahan Orde Baru yang dicanangkan secara nasional. Namun demikian, dalam realitasnya kebijakan tersebut mengarah kepada satu tujuan yaitu untuk memperkuat hegemoni kekuasaan pemerintah dai hadapan rakyatnya.  Alokasi dana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional yang sangat minim dalam bidang pendidikan sebagai sektor yang sangat melemahkan dan terasa sulit untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi.

E.    Kebijakan guru agama Islam pada masa Orde Baru

1.    Pendidikan Guru Agama Islam

Kebijakan guru agama islam pada masa orde baru tidak bisa dilepaskan dengan kebijakan pada masa Orde Lama, karena kebijakan itu sebagian masih dilanjutkan pada masa Orde Baru. Seperti halnya kebijakan dalam mendirikan dan mengembangkan Pendidikan Guru Agama (PGA) dan Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN).Pada masa awal Orde Baru (1966), kebijakan pada saat itu sifatnya adalah memperkuat kebijakan pada masa sebelumnya.

Para siswa PGA dan SGHA (Sekolah Guru Hakim Agama) yang dipersiapkan menjadi guru agama mendapatkan ikatan dinas (Peraturan Menteri Agama No. 6 tahuh 1950 dan No. 7 tahun 1950) dengan ketentuan bahw setelah menyelesaikan pendidikannya mereka diwajibkan bekerja sebagai guru/pegawai negeri pada sekolah, madrasah, atau kantor yang ditunjuk oleh Menteri Agama. Ikatan dinas diberikan bagi siswa PGA dan SGHA yang memenuhi syarat. Lamanya wajib bekerja setelah selesai pendidikan adalah selama masa sekolah ditambah 2 tahun dan sekurang-kurangnya 3 tahun kerja. Pemberian ikatan dinas kepada siswa PGA dan SGHA berlansung terus walaupun sekolahnya telah berubah nama menjadi PGAP, PGAA, dan PHIN. Baru pada tahun 1969 (masa Orde Baru) ikatan dinas dihentikan bagi seluruh siswa karena keterbatasan anggaran Negara. Semenjak itu secara formal PGAPN, PGAAN, dan PHIN tidak lagi menjadi sekolah kedinasan, tetapi menjadi umum milik Negara yang bersifat kejuruan. Sejak saat itu pula lulusan PGA tidak dijamin untuk diangkat menjadi guru agama dengan status pegawai negeri sipil (PNS) 

Pada tahun1974 di Lingkungan Direktoret Pendidikan Agama terdapat 7 jenis sekolah kedinasan yaitu: (1) PGAN 4 tahun sebanyak 145 buah; (2) PPUPAN sebanyak 3 buah; (3) PGAN 6 tahun sebanyak 115 buah; (4) PGAN 6 tahun Puteri sebanyak 1 buah; (5) PGA Luar Biasa Negeri (PGALBN) 6 tahun sebanyak 1 buah; (6) PHIN 1 bua; dan (7) Sekolah Dasar Latihan PGAN 6 tahun sebanyak 13 buah. Nomor 1 dan 2 di atas adalah tingkat menengah pertama dan nomer 7 adalah tingkat dasar.Selebihnya setingkat sekolah menengah atas.Satu lagi sekolah negeri milik Departemen Agama adalah SPIAIN yang ketika itu bernaung di bawah Direktoret Perguruan Tinggi Agama. Berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 15, 16, dan 17 tahun 1978, dalam rangka reorganisasi, relokasi dan restrukturisasi persekolahan dibawah Departemen Agama, maka jenis sekolah disederhanakan menjadi 4 jenis yaitu MIN, MTsN, MAN dan PGAN.

2.    Ujian Guru Agama

Ujian Guru Agama yang lebih popular disebut UGA adalah program pengadaan guru agama Islam yang bersifat “darurat” , berhubung kebutuhan guru agama Islam tidak dapat dipenuhi oleh lulusan sekolah guru agama yang ada (PGA/SGHA/Fakultas Tarbiyah IAIN). Departemen Agama pernah 2 kali menyelenggarakan UGA; pertama tahun 1950 sebagai konsekuensi diwajibkannya pendidikan agama pada sekolah rakyat, dan yang kedua pada tahuan 1967 setelah terjadi pemberontakan G 30S/PKI. 

UGA pada tahun 1950 diadakan bagi mereka yang memiliki ijazah Madrasah Tsanawiyah/pondok pesantren dan mempunyai pengalaman mengajar.program ini merupakan penghargaan bagi guru-guru agama swasta yang berkeinginan untuk menjadi pegawai negeri. Seleksi penerimannya cukup ketat. Seleksi awal dilakukan di tingkat provinsi disusul dengan seleksi di tingkat pusat, setelah itu diterbitkan surat keputusan pengangkatan dan penempatan bagi mereka yang lulus. Program UGA hanya berjalan sampai dengan tahun 1953 dan sejak tahun 1954 pengangkatan guru agama hanya dari lulusan PGA/SGHA yang berlansung hingga tahun 1966. Hal ini didasarkan pertimbangan adanya kelemahan guru agama hasil UGA yang dikatakan; “kurang memiliki pengetahuan umum dan tidak menguasai didaktik/metodik”.

UGA pada tahun 1967 diadakan setelah terjadinya peristiwa G-30S/PKI ketika disadari kurangnya jumlah guru agama dibandingkan dengan sekolah yang ada dan juga tuntutan agar pendidikan agama menjadi benteng moral dalam menghadapi trauma tahun 1965. Di sisi lain jumlah lulusan PGA/SGHA masih sangat terbatas, demikian pula lulusan Fakultas Tarbiyah IAIN. UGA  tahun 1967 ini kemudian banyak menimbulkan masalah karena proses seleksi yang tidak ketat. Selain lulusan PGA, mereka yang kemudian diangkat menjadi gurr agama berasal dari lulusan sekolah agama lainnya seperti Madrasah Aliyah, Madrasah Tsanawiyah, atau berbagai pendidikan pesantren yang tidak mengikuti pola sekolah (formal). 

Di belakang hari muncul keluhan banyaknya guru agama dari lulusan UGA yang tidak layak dan tidak siap mengajar.Kelemahan guru UGA 1967 menjadi lebih banyak dibandingkan dengan UGA 1950. Kelemahan tersebut antara lain di samping mereka kurang menguasai pengetahuan umum dan didaktik-metodik, kurang pula penguasaan mereka pada bahasa Indonesia, tidak mampu menguasai kelas, bahkan tidak sedikit mereka yang tidak menguasai materi yang diajarkannyya. Demikian pula disiplin dan tata tertib sekolah tidak bisa mereka jalankan dengan baik, padahal jumlah guru agama hasil UGA tersebut besar sekali.

3.    Proyek Penyerataan/Pengadaan Guru Agama (D-II & D-III)

Setelah ditetapkan Undang-Undang No. 2/1989 tentanng Sistem Pendidikan Nasional berikut peraturan pelaksanaannya (PP No. 28/1990, PP No. 29/1990, dan PP No. 38/1992). Maka persyaratan untuk menjadi guru agama pada MI, MTs, dan MA berubah. Kualifikasi guru MI minimal lulusan Diploma II (D-II), nukan dari PGA 6 tahun; untuk MTs minimal tamatan Diploma III (D-III), dan untuk MA guru minimal tamatan Strata-I (S-1) atau Diploma IV (D-IV).

Program Penyetaraan Guru Agama terdiri atas Program Penyetaraan D-II yang dimulai sejak tahun 1990/1991 dan D III yang dimulai pada tahun 1994/1995.Program Penyetaraan D II berlansung selama 6 semester dengan beban 80 sks, sedangkan Program Penyetaraan D-III berlansung 8 semester dengan beban 114 sks.Mengingat peserta D-II dan D-III program penyetaraan ini adalah guru-guru agama yang telah bertugas di sekolah, maka jumlah sks tersebut dapat dikurangi dengan memperhitungkan pengalaman mengajar dan pendidikan serta penataran/pelatihan yang pernah mereka ikuti.Dengan demikian, bisa terjadi jumlah sks yang harus diselesaikan oleh masing-masing peserta program penyetaraan ini berbeda-beda. 

Dengan jumlah peserta keseluruhan sebanyak 216.581, maka program penyetaraan D-II dan D-III di lingkugan Departemen Agama dapat mencapai sasaran. Hal ini sangat menggembirakan karena dengan pencapaian tersebut maka guru-guru agama yang bertugas di sekolah telah memenuhi ketentuan perundang-undangan yang menetapkan kualifikasi minimal guru agama SD/MI dan SLTP/MTs. Meskipun sudah mencapai sasaran, namun di sisi lain program penyetaraan ini masih menyimpan beberapa masalah berkaitan dengan mutu, mengingat tidak semua guru yang disetarakan tersebut adalah guru agama, melainkan guru bidang studi umum di madrasah yang seharusnya mendapatkan pelayanan dari program D-II dan D-III bidang studi umum. Kasus ini menampilkan kembali masalah utama tentang adanya dualisme program antara lembaga pendidikan di lingkungan Departemen Agama dan Departemen Pendidkan nasional yang setelah berjalan, puluhan tahun masih belum menyatu dan masih tarik menarik.

II.    Penutup

Pada dasarnya, setiap rezim pemerintahan tentu memliki kekurangan masing, begitupun pemerintahan Orde Baru, apabila politik pendidikan Orde Baru dikaji lebih jauh, maka akan nampak karakteristik yang hampir sama dengan kebijaksanaan sosial politiknya. Di antara karakteristik yag dapat dilihat adalah sentralistik, depolitisasi masyarakat, penguatan kekuasaan pemerintahan dan terkesan kurang serius, dalam arti segala aktivitas kerja birokrasi pemerintahan hanya berorientasi proyek dan pada pemenuhan formalitas sebagai aparatur Negara. 

Walaupun corak kebijakan sosial-politik dan pendidikan pemerintahan Orde Baru sangat tidak menguntungkan rakyat, begitu juga terhadap aspirasi politik umat Islam.Namun pada akhirnya politik pemerintahan Orde Baru mengalami pergeseran yang cukup besar. Berangkat dari proses marjinalisasi yang sangat merugikan umat Islam menuju sikap pemerintah yang lebih akomodatif terhadap kepentingan umat Islam. Namun demikian semua ini memerlukan usaha yang sangat gigih dari para pemikir Islam untuk mewujudkannya.

DAFTAR PUSTAKA

Gunawan.Ary H., Kebijakan-kebijakan pendidikan di Indonesia, Jakarta: Bina Aksara, 1986.
Hikam.A.S., Politik Kewarganegaraan, Landasan Redemokratisasi di Indonesia.Jakarta: Penerbit Erlangga, 1999.
Hoesein.Abdul Azis dkk, Guru di Indonesia, Pendidikan, Pelatihan, dan Perjuangannya.Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia Direktoral Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Tenaga Kependidikan, 2003.
Mustafa. A& Abdullah Aly, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Bandung:Pustaka Setia, 1998.
Suryadi.Ace dan H.A.R Tilaar, Analisis Kebijakan Pendidikan, Suatu Pengantar, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "ANALISIS KEBIJAKAN GURU PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA ORDE BARU"

Posting Komentar