REINTERPRETASI HADIS TENTANG KEBAHAGIAN HIDUP

REINTERPRETASI HADIS  TENTANG KEBAHAGIAN HIDUP

I.    Latar belakang

Salah satu tujuan hidup manusia di muka bumi ini adalah mencapai kebahagiaan. Kenyataanya, kebahagiaan bisa dipahami dalam berbagai bentuk, ada yang melihatnya dari kaca mata psikologis, intelektual, atau spiritual. Muara kebahagiaan manusia senantiasa digambarkan dengan perasaan tentram, damai, penuh makna dan rasa puas.

Dalam ajaran Islam, manusia diciptakan dengan bakat dan tujuan akhir kebahagiaan, bukan kesengsaraan, sebagaimana yang diyakini oleh sebagian aliran psikologi modern, seperti Freudianisme. Jika hendak disejajarkan, ajaran Islam lebih sejalan dengan Psikologi Positif, yang percaya bahwa manusia berbakat berbahagia, dan bahwa tugas psikologi hanyalah mencuatkan bakat kebahagiaan itu. Ajaran Islam bertumpu pada prinsip kasih sayang Tuhan Sang Pencipta. 

Untuk memperoleh kebahagiaan itu perlu ada usaha nyata dalam bentuk tindakan untuk mewujudkannya. Sebagaimana Islam menjelaskan bahwa Allah tidak akan merubah suatu kaum sebelum kaum itu merubah dirinya sendiri. 

Pentingnya pencapaian kebahagiaan, sehingga dalam al-Qur’an dan Hadis telah diketahui beberapa cara dalam mencapai kebahagiaan. Dalam makalah ini, pembahasan tersebutlah yang akan dikaji sebagai tema inti, dengan menjadikan hadis yang berbicara tentang kebahagiaan sebagaiobjek kajiannya.

II.    Pembahasan

A.    Kebahagiaan dalam Islam

Kebahagiaan adalah kosakata dalam bahasa Indonesia yang memiliki makna yang kurang lebih serupa dengan kata kesuksesan, keberuntungan, kesenangan atau kata lain yang searti. Kebahagiaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perasaan bahagia; kesenangan dan ketentraman hidup (lahir batin); keberuntungan; kemujuran yang bersifat lahir batin. Dalam terminologi bahasa Arab, A.W. Munawwir dalam kamus Arab-Indonesia mengidentifikasikan arti bahagia secara etimologi yaitu, Sa’īdun, Sa’īdah yang artinya bahagia atau kebahagiaan dan Al-Sa’īdah artinya yang berbahagia. 

Dalam Al-Qur’an, turunan kata sa’adah hanya terdapat dalam satu surat, yaitu dalam QS Hud:105 dan 108. Masing-masing disebut sa’id dan su’idu. Kata sa’id (ism fa’il) disandingkan dengan shaqiyy yang diterjemahkan dengan yang celaka serta kata su’iduyang dihubungkan dengan imbalan surga di akhirat. Allah swt berfirman:

يَوْمَ يَأْتِ لَا تَكَلَّمُ نَفْسٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ ۚ فَمِنْهُمْ شَقِيٌّ وَسَعِيدٌ

“Di kala datang hari itu, tidak ada seorangun yang berbicara, melainkan dengan izin-Nya; maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang berbahagia.” (QS Hud:105)
وَأَمَّا الَّذِينَ سُعِدُوا فَفِي الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا مَا دَامَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ إِلَّا مَا شَاءَ رَبُّكَ ۖ عَطَاءً غَيْرَ مَجْذُوذٍ

“Adapun orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di dalam syurga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tiada putus putusnya.” (QS Hud:108)

Hakikatnya, kebahagiaan sangat ditentukan oleh pandangan hidup. Jika seseorang berpaham matrealis misalnya, mnaka kebahagiaan hanya terletak pada nilai materi yang berlimpah ruah, seperti kesempurnaan dalam kekayaan harta, kedudukan atau strata sosial dan lain sebagainya yang bersifat materi. 

Faham matrealisme seperti ini, kemudian diingkari oleh pandangan agama, khususnya Islam. Sebab, orang yang miskin dan hidup dalam kekurangan pun sesungguhnya bisa berbahagia dengan keadaannya. Sebaliknya, tak sedikit orang kaya yang hidup serba kecukupan tapi tidak merasakan kebahagiaan dengan apa yang telah dicapainya. Oleh karena itu, kebahgiaan bukan sesuatu yang busa diraba secara fisik, ia hanya bisa dirasakan oleh hati sebagai tempat rasa dan iman. 

Di samping itu, dari aspek pengertian juga, kata “bahagia” dan “senang” dianggap merupakan dua kata yang sepadan. Padahal bagi penulis terdapat signifikansi perbedaan atas dua kata tersebut. Untuk bahagia memang kita memerlukan banyak kesenangan, tetapi orang yang sedang menikmati kesenangan belum tentu bisa merasakan kebahagiaan. Betapa. 

Menurut Norman E. Rosenthal dalam The Emotional Revolutiansebagaimana yang dikutip oleh Jalaludin Rahmat – kesenangan adalah pengalaman sekilas, yang berkaitan dengan ganjaran tertentu.  Berbega dengan kesenangan, kebahagiaan adalah keadaan yang berlansung lebih lama, yang berhubungan dengan penilaian pada kehidupan secara keseluruhan. Orang bahagia mengalami kesenangan dalam kehidupannya sehari-hari. Oleh karena itu kesenangan tidak membawa kepada kebahagiaan bila tidak sejalan dengan, atau bertentangan dengan tujuan seseorang. 

Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa kebahagian pada dasarnya merupakan pengalaman yang bisa dirasakan dan dijelaskan oleh diri atau individu yang merasakan kebahagian tersebut. Terkadang orang mengaku bahwa ia senang lalu dikatakan bahagia, padahal tidak selamanya berlaku demikian karena tidak menutup kemungkinan orang menutupi kesedihannya dengan menyenangkan dirinya dan ini bukan termasuk suatu kebahagiaan.

Adapun unsur-unsur kebahagiaan seperti yang dijelaskan oleh Hamka  adalah:

1.    Kesempurnaan Akal 

Kesempurnaan manusia di sisi Allah berbeda-beda menurut tingkatan akalnya masing-masing. Makin sempurna akal seseorang, maka makin dekatlah dengan sang Khaliknya. Tetapi sebaliknya makin rusak akal seseorang, makin jauhlah dia dari Tuhannya. Akal diberikan Allah kepada manusia agar manusia bisa selamat dunia dan akhirat, karena dengan akal, manusia bisa membedakan antara yang baik dengan yang buruk, bisa memilih antara bahagia atau celaka. Jadi, ketinggian derajat seseorang dihadapan khaliknya adalah lantaran ketinggian akalnya, dan lantaran ketinggian akal itu pula manusia bisa mencapai derajat kebahagiaan yang sebenarnya

2.    Kekuatan Iradah

Unsur kebahagiaan yang kedua adalah terletak pada kekuatan iradah. Iradah adalah kekuatan nafsiyah, pada pendirian yang tidak dapat dipisahkan dari hajat hidup.Sebenarnya iradah adalah kemauan atau kehendak hati, yaitu suatu keinginan untuk mencapai suatu hal, bukannya bertopeng dagu. Keinginan untuk itu hendaklah diikuti dengan segala usaha dan daya upaya untuk menghasilkannya, sehingga jadi kenyataan. Juga harus mempersiapkan segala sesuatu kemungkinan-kemungkinan menurut perasaan dan keyakinan demi terwujudnya keinginan itu. Kiranya dapatlah dipastikan apabila seseorang yang mempunyai keinginan kuat, cukup dengan segala syaratnya pasti tercapai. Di waktu keinginannya itu tercapai, di saat itulah dia merasa bahagia. Jadi, iradah, kemauan, kehendak atau keinginan itu ialah mendidik jiwa untuk memiliki sifat azam (teguh dalam pendirian) dalam melangkahkan kaki untuk terus maju dalam melalui sesuatu amal perbuatan dalam keteguhan hati. 

3.   Kesempurnaan Iman 

Unsur kebahagiaan selanjutnya terletak pada kesempurnaan iman. Adapun iman yang sempurna haruslah memenuhi tiga syarat sebagaimana yang telah dikatakan oleh Abdullah bin Mas’ud, Uzaifahibn al-Jaman (kedua sahabat Nabi), an-Nakhy dan Hasan Basry (tabi’in) yang dikutip oleh  Hamka bahwa: “Hendaklah orang yang ingin menyempurnakan imannya itu melengkapi tiga (3) syarat yaitu: 

a.    Ditasdiqkan (dibenarkan oleh hati)
b.    Diikrarkan (diakui oleh lidah)
c.    Diturutkan dengan amalan

Jadi, dengan demikian iman itu baru sempurna apabila telah melengkapi ketiga syarat tersebut. Seumpama seseorang telah mempercayai dengan hati bahwa Allah itu ada, diucapkannya dengan lidah. Akibat dari percaya kepada Allah itu berkonsekwensikan harus dengan mengamalkan segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya. Itulah baru namanya iman yang sempurna, sedangkan iman yang sempurna itu merupakan faktor utama yang memungkinkan seseorang bahagia.

B.    Kebahagiaan menurut persfektif hadist.

Sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah al-Qur’an, hadis juga banyak memuat berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk kebahagiaan. Di dalam beberapa hadistnya, Rasulullah saw menginformasikan kepada kita umatnya bahwa setiap manusia sudah tercatat nasibnya, apakah bahagia atau sengsara, sejak masih berwujud janin di dalam perut ibunya. Beliau juga menjelaskan bahwa kebahagiaan yang sesungguhnya adalah kebahagiaan dalam keimanan dan ketakwaan. Berikut akan diketengahkan beberapa hadist yang berbicara tentang prinsip-prinsip kebahagiaan.

•    Hadis yang menyatakan bahwa yang masuk ke dalam golongan orang yang bahagia maka ia akan melakukan perbuatan-perbuatan yang membawa kepada kebahagiaan itu.

Suatu hari ketika Umar Ibnul Khattab bertanya kepada Rasulullah, “wahai Rasulullah saw, menurut engkau apa sebaiknya mulai kami kerjakan atau ketika kami selesai dari suatu pekerjaan? “Beliau lalu menjawab, “Wahai Ibnul Khattab, adapun setelah selesai dari melakukan pekerjaan maka setiap orang akan mengerjakan perbuatan lain yang mudah baginya. Adapun yang masuk ke dalam golongan orang yang bahagia maka ia akan melakukan perbuatan-perbuatan yang membawa kepada kebahagiaan itu. Sebaliknya orang-orang yang termasuk golongan orang yang sengsara maka akan melakukan perbuatan-perbuatan yang membawa kepada kesengsaraan itu”. (HR Tirmidzi)

•    Hadis yang menyatakan bahwa perbuatan, rezki, ajal, sengasaradan bahagia sudah ditentukan oleh Allah swt saat masih berbentuk janin.

Rasulullah saw bersabda: sesungguhnya setiap orang dari kalian berada di dalam perut ibunya (dalam bentuk nutfah/zigot) selama rentang waktu empat puluh hari, kemudian berubah menjadi segumpal darah setelah jangka waktu yang sama (empat puluh hari) dan kemudian berubah menjadi segumpal daging (empat puluh hari juga). Setelah itu Allah mengutus seorang malaikat kepadanya seraya berfirman, “Tulislah perbuatan, rezeki, ajal, serta tulis pula (keadaan hidupnya) apakah sengsara atau bahagia. “Demi jiwa hamba ini berada di tangan-Nya, sesungguhnya seseorang nantinya (setelah dilahirkan) benar-benar akan melakukan perbuatan penghuni surga sampai-sampai jarak antara dirinya dengan surga hanya tinggal sehasta. Akan tetapi berlakulah kemudian ketetapan sengsara (yang telah dituliskan malaikat sebelumnya) terhadapnya sehingga dia berbalik melakukan pekerjaan penghuni neraka. Akhirnya ketika meninggal dia masuk neraka. Demi jiwa hamba Allah ini yang berada di dalam genggaman-Nya, ada juga orang yang nantinya (setelah dilahirkan) akan melakukan perbuatan-perbuatan penghuni neraka sampai-sampai jarak antara dirinya dengan neraka hanya tinggal sehasta. Akan tetapi berlakulah kemudian ketetapan bahagia (yang telah dituliskan sebelumnya) terhadapnya, sehingga dia berbalik melakukan pekerjaan penghuni surga. Akhirnya ketika meninggal dia masuk ke dalam surga. (HR Ahmad)

•    Hadis menyatakan bahwa bersikap ridha terhadap ketentuan Allah merupakan salah satu bentuk kebahagiaan anak cucu adam.

Rasulullah saw bersabda: diantara bentuk kebahagiaan anak cucu Adam adalah bersikap ridha dengan apa yang telah ditentukan oleh Allah untuknya. Sedangkan diantara bentuk kesengsaraan anak cucu Adam adalah menjauhi konsultasi dengan Allah (sebelum melakukan atau meninggalkan pekerjaan). lebih lanjut, yangjuga merupakan bentuk kesengsaraannya adalah bersikap tidak senang dengan apa yang telah ditentukan Allah untuknya. (HR Tirmidzi)

•    Hadis yang menyatakan bahwa beramal kebajikan adalah salah satu amal saleh untuk mencapai kebahagiaan, diantara hadis yang menjelaskan beramal untuk menuju kebahagiaan, yaitu hadisNabi yang berbunyi:

حدثنا عثمان قال حدثني جرير عن منصور عن سعد بن عبيدة عن أبي عبد الرحمن عن علي رضي الله عنه قال كُنَّا فِي جِنَازَةٍ فِي بَقِيعِ الْغَرْقَدِ، فَأَتَانَا النبيُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَعَدَ وَقَعَدْنَا حَوْلَهُ و مَعَهُ مِخْصَرَةٌ، فَنَكَسَ فَجَعَلَ يَنْكُتُ بِمِخْصَرَتِهِ، ثُمَّ قَالَ: " مَا مِنْكم من احد ما من نَفْسٍ مَنْفُوسَةٍ إِلا كُتِبَ مَكَانُهَا مِنَ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ، وَإِلا قَدْ كُتِبَتْ شَقِيَّةً أَوْ سَعِيدَةً، فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلا نَمْكُثُ عَلَى كِتَابِنَا وَنَدَعُ الْعَمَلَ، فَمَنْ كَانَ مِنَّا مِنْ أَهْلِ السَّعَادَةِ فَسَيَصِيرُ إِلَى عَمَلِ أَهْلِ السَّعَادَةِ وَمَنْ كَانَ مِنَّا مِنْ أَهْلِ الشَّقَاوَةِ، فَسَيَصِيرُ إِلَى عَمَلِ أَهْلِ الشَّقَاوَةِ؟قَالَ: أَمَّا أَهْلُ السَّعَادَةِ فَيُيَسَّرُونَ لِعَمَلِ أَهْلِ السَّعَادَةِ، وَأَمَّا أَهْلُ الشَّقَاوَةِ، فَيُيَسَّرُونَ لِعَمَلِ أَهْلِ الشَّقَاوَةِ، ثُمَّ قَرَأَ: {فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى وصدق بالحسني} [الليل: 5] الآيات

Telah menceritakan kepada kami ‘Utsman, telah menceritakan kepada saya Jarir dari Sa’ad bin Ubaidah, dari Abdurrahman, dari Ali RA berkataSuatu hari, ketika kami baru selesai menguburkan jenazah seseorang di pemakaman Baqi, Rasulullah saw datang ke tempat itu. Beliau kemudian duduk sehingga kami ikut duduk disekeliling beliau. Pada saat itu Rasulullah saw memegang sebuah togkat kecil. Beliau lalu menundukkan kepala seraya memulul-mukulkan tongkat itu ke tanah. Tidak lama kemudian Rasulullah saw berkata, “tidak seorangpun dari kalian, demikian juga makhluk yang bernyawa, melainkan telah ditulis tempat kembalinya kelak, yaitu antara surga atau neraka. Begitu pula telah ditetapkan perjalanan hidupnya, yaitu antara bahagian dan sengsara,” seorang sahabat lalu berkomentar, “wahai Rasulullah saw, kalau begitu bagaimana jika kita bersikap pasrah saja dengan ketentuan tersebut dan tidak berikhtiar melakukan perbuatan apapun. Hal ini disebabkan jika diantara kita ada yang ditakdirkan termasuk golongan yang bahagia maka tentu dengan sendirinya dia akan melakukan perbuatan-perbuatan golongan tersebut. Demikian juga jika diantara kita ada yang ditentukan masuk kedalam golongan orang yang sengsara maka dengan sendirinya pula dia akan melakukan perbuatan-perbuatan golongan tersebut. Rasulullah saw lalu menjawab: Adapun orang-orang yang termasuk golongan yang bahagia maka akan dimudahkan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang membawa kepada kebahagiaan itu. Sebaliknya, orang-orang yang akan termasuk golongan orang yang sengsara maka juga akan dimudahkan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang membawa kepada kesengsaraan. Selanjutnya beliau membacakan ayat: adapun orang-orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga) al-lail 5-6 (HR Bukhari)

Penjelasan Hadis

Maksud hadis tersebut dapat dipahami bahwasanya apabila seseorang ingin memperoleh kebahagiaan maka salah satu caranya adalah ia harus memberikan hartanya di jalan Allah dan bertakwa, serta membenarkan akan adanya pahala yang terbaik (surga). Hal ini sejalan dengan firman Allah swt dalam surah an-Nahl ayat 97:

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Barang siapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik." (QS. An-Nahl: 97)

Pada hadis tersebut Nabi mengutip ayat tentang keimanan dan ketakwaan dan juga memberikan harta (sifat dermawan) yang bisa membawa kepada kebahagiaan. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang hubungan antara sifat dermawan dan keimanan/ketakwaanseseorang dengan kebahagiaan.

Secara logika, orang yang suka memberi (dermawan) kepada orang lain tentu mendapatkan apresiasi dari orang lain. Orang seperi ini biasanya mendapatkan respon positif, dukungan, dan juga disenangi oleh banyak orang. Karena orang menganggap dia telah melakukan pengorbanan dalam bentuk harta yang tidak semua orang mau melakukannya sehingga timbullah respon positif dari orang lain kepadanya. Dari sinilah bisa timbul kebahagiaan. Seandainya dia melakukannya tanpa sepengetahuan banyak orang, maka kebahagiaannya itu timbul dari keyakinanya akan adanya balasan yang berlipat ganda dari Allah swt. Keyakinannya juga timbul dari pemahaman bahwa setiap dia melepaskan kesusahan saudaranya maka Allah juga akan melepaskan kesusahnnya pula.

Keimanan dan ketakwaandalam agama sangatlah penting artinya bagi kesehatan mental dan kebahagiaan hidup. Karena keimanan dan ketakwaan dapat memupuk dan mengembangkan fungsi-fungsi jiwa dan memelihara keseimbangan serta menjamin ketentraman batin. Dengan demikian dapat diyakini bahwa apabila manusia hidup berdasarkan akal saja, atau terlalu memuja ilmu pengetahuan dan teknologi, melupakan atau meremehkan unsur-unsur ketakwaan, ia akan terbentur pada perasaan gelisah dan cemas.

Yusuf Qardhawi  mengemukakan beberapa alasan mengapa ketentraman batin (kebahagiaan) sangat dipengaruhi oleh iman dan takwa:

1.    Iman (percaya kepada Allah) adalah fitrah manusia
2.    Orang beriman itu memiliki tujuan hidup yang benar
3.    Iman akan melahirkan rasa aman
4.    Iman akan menumbuhkan optimisme

Di antara hal-hal yang mendatangkan ketenangan jiwa bagi orang-orang mukmin dan muttaqin adalah karena mereka selalu beraudiensi dengan Allah di sepanjang waktu, dengan mengerjakan shalat dan doa. Shalat dan doa (termasuk dzikir) sangat besar manfaatnya bagi penyembuhan suatu gangguan jiwa, jiwa yang sedang sakit menjadi tenang kembali.  Allah SWT berfirman:
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّالْقُلُوبُ

“Orang-orang yang beriman, hati mereka menjadi tenang (tentram) karena mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang” (QS. Ar Ra’d:28)

Terdapat juga implikasi negatif jika salah dalam memahami beberapa hadis di atas di antaranya adalah:
  1. Berandai-andai akan datangnya kebahagiaan tanpa disertai berusaha berupa fisik ataupun non fisik.
  2. Menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan kebahagiaan.
  3. Membuat iman seseorang menjadi lemah, karena terpengaruh hadis Nabi bahwasanya seseorang bahagia atau sengsara sudah ditentukan oleh Allah.

Untuk itu, perlu ditekankan bahwa secara keseluruhan hadis menyatakan bahwa dalam mencapai bahagia manusia tidak boleh berdiam diri, haruslah beramal, walaupun menurut hadis diatas orang yang sudah diciptakan sebagai ahli sa’adah akan dipermudah dalam beramal begitupun sebaliknya. Sebab,  manusia turut andil dalam melaksanakan kebaikan atau keburukan, sesuai pernyataan dari Harun Nasution bahwasanya manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya. Manusia sendirilah yang melakukan baik atas kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. Jadi, manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. 

Sikap pasrah akan takdir Allah yang sudah ditentukan, keyakinan bahwa manusia tidak punya andil dan hak untuk memilih dan menentukan nasibnya antara bahagia atau sengsara hakikatnya merupakananggapan atau keyakinan yang berujung pada premis bahwa Allah itu tidak adil kepada Makhluknya. Tentu ini merupakan pemahaman yang keliru dan menyalahi Asma Allah seperti Allah Mahah Adil.Oleh karena itu sangat diperlukan pengetahuan yang mendalam mengenai konsep nasib/takdir. Pemahaman seseorang terhadap hadis ini akan berbeda karena dipengaruhi oleh pemahaman yang beragam pula mengenai konsep takdir.

Imam Nawawi memberikan definisi takdir sebagaimana yang dikutip oleh Sayid Sabiq menyatakan bahwa: “sesungguhnya segala sesuatu yang maujud ini oleh Allah digariskan (ditentukan) sejak jaman dahulu. Dia mengetahui apa saja yang akan terjadi atas segala sesuatu tadi dalam waktu-waktu yang telah ditentukan, sesuai dengan garis yang ditetapkan oleh-Nya. Jadi terjadinya itu nanti pasti akan cocok menurut sifat-sifat dan keadaannya yang khusus, tepat seperti yang digariskan oleh Allah” 

Oleh karena itu makna takdir ialah Allah swt membuat beberapa ketentuan-ketentuan, peraturan dan undang-undang yang diterapkan untuk segala yang sesuatu yang ada di dunia ini pasti beredar, berjalan, dan berlaku sesuai dengan apa-apa yang telah dipastikan dalam ketentuan-ketentuan Allah swt.  

Perlu ditegaskan bahwa beriman kepada takdir adalah merupakan kepercayaan atau akidah yang sungguh-sungguh ditanamkan dalam hati setiap muslim dan tidak ada pengertian paksaan dalam takdir. Banyak orang yang mengira bahwa arti qadla dan qadar adalah pemaksaan yang dilaksanakan oleh Allah kepada hamba-Nya untuk mengikuti apa saja yang yang telah digariskan menurutketentuan dan keputusan-Nya. Padahal sebenarnya tidaklah demikiandan salah sekali apa yang mereka sangkakan itu. Yang benar ialahbahwa arti takdir itu adalah suatu pemberitahuan mengenai telah diketahuinya oleh Allah perihal apa yang ada dalam perbuatan setiap orang yang berupa apapun. Jadi timbulnya itupun menurut takdir yang ditentukan oleh Allah sesuai dengan asli penciptaannya yakni tentang buruk atau baiknya. Ringkasnya bahwa takdir itu adalah sebagai nama untuk sesuatu yang timbul yang ditentukan dari perbuatan Dzat Yang Maha Menentukan. 

Dengan demikian dapatlah diketahui bahwa Allah pasti Maha Mengetahui apa-apa yang akan terjadi. Dan terlaksananya kejadian itu nanti pasti cocok sebagaimana yang telah diketahui dalam ilmu Tuhan itu. Tetapi sama sekali pengetahuan Tuhan tadi tidaklah akan memberi bekas apapun pada kehendak seseorang hamba, karena mengetahui itu adalah sifat penyingkapan sesuatu, bukannya suatu sifat yang memberikan kesan, bekas atau pengaruh.

Setelah memahami hadis ini secara mendalam, maka akan diperoleh implikasi positif, diantaranya adalah:
  • Bisa dijadikan motivasi seseorang untuk selalu berbuat kebaikan yang akhirnya kebaikan itu sendirilah yang mengantarkan menuju puncak kebahagiaan.
  • Dapat dijadikan semangat untuk tidak gampang menyerah terhadap nasib, karena kebahagiaan di capai melalui usaha bukan hanya berangan-angan.

III.    Penutup

Makna kebahagiaan yang terkandung dalam hadis tersebut adalah kebahagian itu dapat diperoleh melalui usaha dan upaya seseorang. Artinya seseorang itu tidak boleh memiliki sifat menyerah terhadap nasib karena menganggap semuanya sudah diatur oleh Allah dan manusia tidak bisa punya andil terhadap nasibnya sendiri. Seseorang harus meyakini bahwa di dunia ini sudah diatur sebab akibat dan hukum sunnatullah berlaku bagi siapa saja. Sehingga apabila seseorang melakukan kebaikan maka akan mendapatkan kebaikan pula, demikan pula seballiknya. Cara mencapai kebahagian yang diajarkan di dalam hadis tersebut adalah dengan memilki sifat dermawan dan penanaman keimanan dan ketakwaan yang mendalam dalam diri.

DAFTRAR PUSTAKA

Abdul, Rojak Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2007)
Al-Qarni. A’id Abdullah Berbahagialah, Penerjemah: Samson Rahman (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2004, cet 1)
file:///I:/MAKALAH%20SEJARAH/unsur%20bahagia%20dll.pdf
Haidar Baqir, Risalah Cinta dan Kebahagiaan, (Jakarta: Noura Books, 2012)
Muẖammad bin Ismȃ’ȋl Al-Bukhȃrȋ. Abu Abdullah, Shahih Bukhori, (Darul Ibnu katsir: Damaskus, 2002
Munawwir. Achmad Warson Al-Munawwir Kamus Indonesia-Arab (Surabaya: Penerbit Pustaka Progressif, 2007)
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta :Balai Pustaka, 1994)
Rakhmat. Jalaluddin, Meraih Kebahagiaan (Bandung: Simbiosa, Rekatama Media, 2004)
Qardhawi, Merasakan Kehadiran Tuhan Terj. Jaziratul Islamiyah, Al Iman walHayat, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2001)
Sabiq. Sayid, Aqidah Islam (Ilmu Tauhid), Diponegoro, Bandung, 1989


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "REINTERPRETASI HADIS TENTANG KEBAHAGIAN HIDUP"

Posting Komentar