Kebijakan (Policy) dan Problem Desentralisasi Pendidikan di Indonesia


Kebijakan (Policy) dan Problem Desentralisasi Pendidikan di Indonesia

 A.    Desentralisasi pendidikan di Indonesia
 
Pada tataran aplikatif, antara otonomi daerah dan desentralisasi tidak memiliki perbedaan prinsipil. Keduanya memiliki esensi bahwa bagaimana daerah tersebut bebas menentukan masa depan mereka sendiri. Namun perlu diketahui bahwa antara sentralisasi dengan desentralisasi merupakan suatu konsep yang integral akan sama pentingnya dengan desentralisasi politik dan administrasi sebagai suatu sifat yang saling melengkapi dan cukup komplementer. Walaupun demikian permasalahan yang telah muncul sejak UU Nomor 22 Tahun 1999 yang diemplementasikan per 1 Januari 2001, menyangkut beberapa aspek di antaranya adalah hubungan kekuasaan dan pembagian kewenangan, pendapatan dan pengolahan sumber-sumber keuangan daerah, kelembagaan, kepegawaian daerah, akuntabilitas pemerintahan daerah, masyarakat, pengawasan, kerja sama antar daerah.
Otonomi menurut UU No 22/1999 tentang otonomi daerah adalah pelimpahan wewenang kepada daerah untuk mengurusi daerahnya sesuai dengan UU dalam kerangka NKRI. Berdasarkan pada UU No. 22/1999, prinsip prinsip pelaksanaan otonomi daerah menyangkut tentang:

a.    Pelaksanaan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek-aspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan keanekaragaman daerah.
b.    Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi Negara, sehingga tetap terjaga hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antardaerah.
c.    Pelaksanaan otonomi daerah harus meningkatkan kemandirian daerah otonom.
d.    Membentuk peraturan daerah yang dapat membina kawasan pada aspek-aspek potensi daerah untuk peningkatan pendapatan asli daerah.

Otonomi pendidikan adalah pemberian otonomi pada lembaga-lemabaga pendidikan. Dalam UU No.22/1999 Bab IV Pasal 11 ayat 2 disebutkan : Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja. Jadi, pendidikan dan kebudayaan merupakan salah satu bidang yang harus dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten/Kota.


B.    Otonomi Pendidikan Dasar dan Menengah


Otonomi pendidikan pada pendidikan dasar dan menengan (SD, SLTP, dan SLTA) berbeda dengan PTN. Pendidikan dasar dan menengah tidak terlepas dari tanggung jawab pemerintah daerah. Beberapa daerah tertentu yang kaya akan sumber daya alam merasa sangat siap untuk menjalankan otonomi pendidikan. Di lain pihak banyak pula daerah yang belum/tidak siap untuk menjalankan otonomi pendidikan tersebut. Kekurangan-siapan terse-but tidak hanya pada dana pendidikan, tetapi juga tanggung jawab dan pandangan masyarakat (termasuk pejabat) terhadap pendidikan. Sebagai contoh, di beberapa daerah di Jawa Tengah masih ada pemerintah daerah yang menganggarkan dana pendidikan jauh di bawah anggaran operasional anggota DPRD. Hal ini memberi gambaran bahwa penentu kebijakan APBD belum menyadari akan tanggung jawabnya terhadap pentingnya pendi-dikan di daerahnya. Menteri Pendidikan Nasional, pada beberapa pidatonya menyatakan bahwa dana pendidikan yang dianggarkan pemerintah hanya 3,8 % dari APBN (bandingkan dengan Malaysia 20% dari APBN-nya). Namun itu bukan berarti semangat penyelenggaraan pendidikan menjadi kendur. Kekurangan anggaran tersebut hendaknya bisa disiasati oleh daerah seiring diberikannya otonom pendidikan kepada daerah. Dalam bidang kurikulum, Direktur Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah, menyatakan bahwa pada saat ini kurikulum sedang sedang dilakukan reformasi. Direncanakan reformasi kurikulum ini akan selesai tahun 2002. Dalam pembentukannya perlu menyerap aspirasi dan kritik masyarakat serta melibatkan stake holder. Kurikulum akan disesuaikan dengan aspirasi otonomi daerah. Kurikulum tidak harus seragam, bisa jadi daerah tertentu memiliki kurikulum yang berbeda dengan daerah lain. Masyarakat juga harus diberdayakan, dilibatkan dalam menyusun kurikulum di daerahnya. Kurikulum perlu dikembangkan dalam tiga paradigma, yaitu: 

1.    School Based Management, dimana kewenangan manajemen lebih diberikan kepada kepala sekolah, guru, dan murid.
2.    School Based Participation, dimana masyarakat atau komunitas terlibat sehingga terjadi interaksi antara sekolah dengan masyarakat.
3.     Learning Paradigm, dimana siswa adalah mitra yang diajak untuk merumuskan bagaimana meningkatkan dirinya.

    Aspirasi untuk membuat kurikulum baru sangat kuat di masyarakat. Pakar pendidikan Mochtar Buchori dan J.Drost mengkritik kurikulum sekolah yang selama ini digu-nakan (terutama SMU). Kurikulum ini dinalai terlalu sarat dan berat yang hanya diper-untukkan siswa cerdas yang jumlahnya sekitar 30% saja. Sementara yang lain, kurang cerdas. Ditambah lagi dengan perbedaan antar daerah di Indonesia. Sarana dan prasarana pendidikan yang ada di kota-kota besar (seperti Jakarta) berbeda dengan di daera-daerah (seperti di Irian). Karena itu dalam rangka desentralisasi, perlu ada kurikulum lokal yang signifikan yang ditentukan oleh daerah. Hanya beberapa mata pelajaran pokok aja yang ditentukan pusat. Agar kurikulum lokal baik, para pendidik dan para ahli setempat serta anggota masyarakat dapat membahas dan menentukan kurikulum yang sesuai dengan daerahnya. Sekolahpun perlu diberi kebebasan menentukan mata pelajaran muatan lokal tersebut. Sekolah juga diharapkan dapat menentukan mata pelajaran yang mereka inginkan. Diterbitkannya UU. No.22 Tahun 1999 dan PP. No.25 Tahun 2000 maka secara yuridis formal telah ada landasan hukum dan kemauan politik dalam penyelenggaraan pendidikan secara lebih otonom. Sekarang tinggal bagaimana mencari pola otonomi yang relevan dan dapat mengatasi tantangan dan kendala yang ada. Implementasi konsep otonomi pendidikan tingkat sekolah dilakukan melalui School Based Managemen (SBM) dan dilaksanakan melalui terminology Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS).  Konsep MPMBS merupakan bentuk alternatif sekolah dalam program desen-tralisasi bidang pendidikan, yang ditandai adanya otonomi di tingkat sekolah, partisipasi masyarakat yang tinggi, dan dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. Konsep ini menawarkan kepada sekolah untuk menyelenggarakan pendidikan yang lebih baik dan lebih memadai bagi siswa, meningkatkan kinerja para staf, partisipasi kelompok-kelompok yang terkait, dan meningkatan pemahaman masyarakat terhadap pendidikan

MBS (manajemen berbasis sekolah)

Dalam kondisi apapun, komitmen pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan hendaknya tidak berubah. Artinya pemerintah harus tetap konsisten untuk meningkatkan kuantitas maupun kualitas pendidikan. Ada begitu banyak program-program yang dilaksanakan pemerintah, terutama ketika dilanda krisis, ada program Aku Anak Sekolah yang didukung oleh badan internasional seperti Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB), dan UNICEF. Pemerintah memberikan dukungan beasiswa kepada peserta didik serta dana bantuan operasional (DBO) bagi sekolah-sekolah yang tidak mampu untuk menyelamatkan kuantitas dan kualitas pendidikan. Akan tetapi, karena pengelolaannya yang terlalu kaku dan sentralistik, maka program tersebut tidak banyak memberikan dampak positif, angka partisipasi pendidikan nasional maupun kualitas pendidikan menurun. Diduga hal tersebut erat kaitannya dengan manajemen. Berdasarkan kekhawatiran ini maka muncullah salah satu pemikiran kearah pengelolaan pendidikan yang diberi keleluasaan kepada sekolah untuk mengatur dan melaksanakan berbagai kebijakan secara luas. Pemikiran ini dalam perjalanannya disebut manajemen berbasis sekolah (MBS) atau (school based manajemen (SBM), yang telah berhasil mengangkat kondisi dan memecahkan berbagai masalah pendidikan di beberapa Negara maju, seperti Australia dan Amerika. 

Manajemen berbasis sekolah merupakan upaya pemerintah dalam memaksimalkan penyelenggaraan desentralisasi pendidikan. Konsep manajemen berbasis sekolah diharapkan bisa meningkatkan peran sekolah dan masyarakat sekitar (stake holder) dalam pengelolaan pendidikan, sehingga penyelenggaraan pendidikan menjadi lebih baik dan mutu lulusan semakin bisa ditingkatkan.

Manajemen berbasis sekolah merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai keunggulan masyarakat bangsa dalam penguasaan ilmu dan teknologi, yang ditunjukkan dengan pernyataan politik dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Hal tersebut diharapkan dapat dijadikan landasan dalam pengembangan pendidikan di Indonesia yang berkualitas dan berkelanjutan, baik secara makro, meso, maupun mikro. Kerangka makro erat kaitannya dengan upaya politik yang saat ini sedang ramai dibicarakan yaitu desentralisasi kewenangan dari pemerintah pusat ke daerah, aspek mesonya berkaitan dengan kebijakan daerah tingkat provinsi sampai tingkat kabupaten, sedangkan aspek mikro melibatkan seluruh sektor dan lembaga pendidikan yang paling bawah, tetapi terdepan dalam pelaksanaannya, yaitu sekolah. Pemberian otonomi pendidikan kepada sekolah merupakan kepedulian pemerintah terhadap gejala-gejala yang muncul di masyarakat serta upaya peningkatan mutu pendidikan secara umum. Pemberian otonomi ini menuntut pendekatan manajemen yang lebih kondusif di sekolah agar dapat mengakomodasi seluruh keinginan sekaligus memberdayakan berbagai komponen masyarakat  secara efektif, guna mendukung kemajuan dan sistem yang ada di sekolah. Dalam kerangka ini MBS tampil sebagai alternative paradigm baru manajemen pendidikan yang ditawarkan. MBS merupakan suatu konsep yang menawarkan otonomi kepada sekolah untuk menentukan kebijakan sekolah dalam rangka peningkatan mutu, efisiensi dan pemerataan pendidikan agar dapat mengakomodasi keinginan masyarakat setempat serta menjalin kerjasama yang erat antara sekolah, masyarakat dan pemerintah. 

Tujuan utama MBS adalah meningkatkan efisiensi mutu, dan pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi diperoleh melalui keleluasaan mengelola sumber daya yang ada, partisispasi masyarakat, dan penyederhanaan birokrasi. Peningkatan mutu diperoleh melalui partisipasi orangtua, kelenturan pengelolaan sekolah, peningkatan profesionalisme guru, adanya hadiah dan hukuman sebagai kontrol, serta hal lain yang dapat menumbuh kembangkan suasana kondusif. Pemerataan pendidikan tampak pada tumbuhnya partisipasi masyarakat terutama yang mampu dan perduli, sementara  yang kurang mampu akan menjadi tanggung jawab pemerintah.

Adapun manfaat MBS, yaitu dapat memberikan kekuasaan yang besar pada sekolah, disertai seperangkat tanggung jawab. Dengan adanya otonomi yang memberikan tanggung jawab pengelolaan sumber daya dan pengembangan strategi MBS sesuai dengan kondisi setempat, sekolah dapat lebih meningkatkan kesejahtraan guru sehingga dapat lebih konsentrasi kepada tugas. Keleluasaan dalam mengelola sumber daya dan dalam menyertakan masyarakat untuk berpartisipasi, mendorong profesionalisme kepala sekolah, dalam perannya sebagai manajer maupun pemimpin sekolah. Dengan diberikannya kesempatan kepada kepala sekolah untuk menyusun kurikulum, guru didorong untuk berinovasi, dengan melakukan eksperimentasi-eksperimentasi di lingkungan sekolahnya. Dengan demikian MBS mendorong profesionalisme guru dan kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan di sekolah. Dengan penyusunan kurikulum efektif, rasa tanggap sekolah terhadap kebutuhan setempat meningkat dan menjamin layanan pendidikan sesuai dengan tuntutan peserta didik dan masyarakat sekolah. Prestasi peserta didik dapat dimaksimalkan melalui peningkatan partisipasi orangtua, misalnya, orang tua dapat mengawasi lansung proses belajar anaknya. 

MBS menekankan keterlibatan maksimal berbagai pihak, seperti pada sekolah-sekolah swasta, sehingga menjamin partisipasi staf, orang tua, peserta didik, dan masyarakat yang lebih luas dalam perumusan-perumusan keputusan tentang pendidikan. Kesempatan berpartisipasi tersebut dapat meningkatkan komitmen mereka terhadap sekolah. Selanjutnya, aspek-aspek tersebut pada akhirnya akan mendukung efektivitas dalam pencapaian tujuan sekolah. Adanya control dari masyarakat dan monitoring dari pemerintah, pengelolaan sekolah menjadi lebih akuntabel, transparan, egaliter, dan demokratis, serta menghapuskan monopoli dalam pengelolaan pendidikan. Untuk kepentingan tersebut diperlukan kesiapan pengelola pada berbagai level untuk melakukan perannya sesuai dengan kewenangan dan tanggung jawab.

C.    Otonomi Kampus (Perguruan Tinggi) dan Kasus Undang-Undang N0 12 Tahun 2012 tentang PT.

Desentralisasi pendidikan adalah penyerahan kekuasaan pemerintah kepada daerah dalam bidang pendidikan. Salah satu model desentralisasi pendidikan adalah otonomi perguruan tinggi, yaitu pemberian wewenang secara luas kepada perguruan tinggi untuk mengatur organisasi dan rumah tangganya sendiri dengan badan hukum yang bersifat nirbala. Unsur-unsur yang terlibat dalam pelaksanaan otonomi perguruan tinggi menurut PP Nomor 60 Tahun 1999 Pasal 27 adalah dewan penyantun, unsur pimpinan, unsur tenaga pengajar, senat perguruan tinggi, unsur pelaksana akademik (bidang pendidikan, bidang penelitian, dan bidang pengabdian pada masyarakat), unsur pelaksana administrative, unsur penunjang (perpustakaan, laboratorium, bengkel, pusat computer, kebun percobaan, dan lain-lain yang dirasa perlu.

Pendidikan tinggi memerlukan otonomi bukan hanya otonomi dalam bentuk kebebasan akademik, tetapi juga otonomi kelembagaan dalam masalah-masalah manajemen, penyusunan program, dan anggaran. Dengan demikian, pendidikan tinggi terebutsebagai lembaga akan bersifat kreatif dan menjadi pelopor perubahan baik di dalam masyarakat sekitarnya maupun di dalam kemajuan ilmu pengetahuan.

Dalam rangka penerapan otonomi perguruan tinggi, terdapat beberapa kendala atau masalah yang dihadapi, yaitu:

1.    Kualitas sumber daya manusia yang terbatas.
2.    Sikap dan budaya kerja yang kurang disiplin
3.    Terbatasnya sumber daya pemerintah untuk menyediakan biaya operasional tahap awal
4.    Terbatasnya kemampuan orang tua untuk menyekolahkan anaknya dengan pembayaran SPP yang tinggi
5.    Kurangnya kesabaran dosen, teknisi, dan tenaga administrasi untuk berjuang bersama dengan penghargaan yang terbatas sebelum perguruan tinggi menghasilkan cukup dana dari usaha swadayanya.

Otonomi pendidikan tidak hanya diberikan pada pemerintah daerah, tetapi juga kepada PTN (Perguruan Tinggi Negeri). Sesuai dengan PP No.60 dan PP No.61/1999, empat PTN yaitu UI, ITB, IPB, dan UGM dijadikan pilot projek otonomi PTN. Statusnyapun berubah menjadi badan hukum sendiri seperti Perusahaan Umum (Perum) atau BHMN (Badan Hukum Milik Negara). Status pegawai tidak lagi PNS, melainkan menjadi PU (Pegawai Universitas). Universitaslah yang memiliki kewenangan penuh pengangkatan dan memberhentikannya. Implikasi perubahan status PTN tersebut sangat luas, antara lain bahwa PTN harus mampu merubah seluruh sistem yang selama ini berjalan mejadi sebuah sistem yang bersifat otonom dan akuntabel. Dalam sistem otonomi, pola manajemen PTN akan berubah dari sistem yang bersifat birokratis menjadi demokratis.. Pimpinan PTN tidak lagi bertanggung jawab kepada menteri atau Dirjen Dikti, namun bertanggung jawab kepada Majelis Wali Amanat (Board of Trustees). Di bidang akademik Pimpinana PTN bertanggung jawab kepada kepada Senat Akademik yang ada di PTN masing-masing. Dengan ketentuan tersebut di atas pimpinan PTN yang berbadan hukum memiliki kewenangan yang cukup luas, antara lain:

a. memilh staf akademik sesuai dengan visi dan misi lembaganya,
b. menetapkan kualitas dan kuantitas mahasiswa,
c. merumuskan kurikulum,
d. menetapkan prioritas penelitian dan pengabdian pada masyarakat,
e. memanfaatkan sumberdaya yang tersedia secara mandiri.

Kewenangan yang luas tersebut juga harus disertai dengan tanggung jawab yang
besar pula, terutama kepada stakehorlder-nya. Disamping itu dengan kewenangan yang luas ini, PTN perlu mengantisipasi segala resiko yang terkait. Salah satunya adalah bagaimana mengubah kinerja seluruh civitas akademika yang telah terbiasa dengan pola kerja yang bersifat birokratis menjadi pola kerja yang bersifat demokratis dan parsitipatif.

Pemberian otonomi kepada perguruan tinggi menyangkut beberapa aspek sebagai berikut:

1.    Otonomi eksternal, dalam bentuk pemberian status sebagai badan hukum, atau sekarang lebih dikenal dengan sebutan BHMN (Badan Hukum Milik Negara). Sebagai unit independen, perguruan tinggi bukan bagi unit pelayanan Ditjen Dikti Departemen Pendidikan Nasional).

2.    Otonomi Organisasi, perguruan tinggi memiliki kebebasan untuk menetapkan struktur organisasi, termasuk menetapkan struktur program studi dan kegiatan akademik serta merencanakan sumber daya.

3.    Otonomi kelembagaan, dimana perguruan tinggi mempunyai kebebasa untuk menetapkan bagaimana fungsi dan kontribusi mereka dalam mengembangakan, melanggengkan, mentranmisikan, dan menggunakan ilmu pengetahuan. Begitu juga mereka mempunyai kebebasan untuk memutuskan rise tapa yang perlu dilakukan dan bagaimana melakukannya, serta dengan pihak siapa saja mereka ingin bekerja sama dalam melakukan penelitian dan pelatiahn penelitian. 

Adapun Undang-undang Pendidikan Tinggi (UUD DIKTI) No. 12 tahun 2012 pada dasarnya merupakan respon atas adanya Putusan Mahkamah Konstitusi N0. 11-14-21-126-136 PUU-VII/2009, yang membatalkan UU No. 9 tentang Badan Hukum Pendidikan dengan alasan bertentangan dengan UUD 1945 yang memberikan amanat agar pemerintah dapat menyelenggarakan pendidikan untuk seluruh masyarakat. Dengan dibatalkannya UU ini, maka diperlukan UU yang mengatur tentang perguruan tinggi. Berangkat dari pokok pemikiran pendidikan sebagai alat untuk bersaing di era globalisasi, maka UU DIKTI dibuat dengan tujuan mampu mewujudkan satu sistem Pendidikan Tinggi yang menghasilkan intelektual, ilmuwan, atau professional yang berbudaya, kreatif toleransi, tanggung jawab, serta berani membela kebenaran dan kepetingan bangsa dan umat manusia. Adapun pokok dari UU DIKTI adalah adanya otonomi dalam melaksanakan kebebasan akademik dan keilmuan. 

Berdasarkan model analisis kebijakan publik, DPR dan pemerintah menciptakan sebuah undang-undang baru yang mampu memberi payung hukum yang jelas terhadap sistem pendidikan nasional khususnya pendidikan tinggi setelah dibatalkannya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan. Berdasarkan data yang diperoleh bahwa telah terjadi tujuh kali revisi dalam pembuatan undang-undang pendidikan tinggi karena banyaknya tuntutan-tuntutan dari masyarakat terutama mahasiswa dalam menyelenggarakan sistem pendidikan nasional. Akan tetapi otonomi perguruan tinggi yang terdapat dalam UU No. 12 Tahun 2012 tentang PT menuai pro dan kontra, ada yang mendukung kebijakan tersebut dan adapula yang  menolak.

Bagir Manan termasuk mendukung danmemberikan beberapa catatan mengenai pokok permohonan uji yudisial, uji materi yang berkenaan dengan otonomi perguruan tinggi dan bentuk badan hukum penyelenggara perguruan tinggi yang diurus lansung oleh negara atau pemerintah atau yang lazim disebut perguruan tinggi negeri. Selanjutnya untuk memudahkan, dan sesuai dengan maksud permohonan, perguruan tinggi yang akan disebut-sebut di bawah ini adalah perguruan tinggi negeri. 

1.    Tentang otonomi perguruan tinggi.

Undang-undang membedakan antara otonomi akademik dan otonomi pengelolaan. Otonomi akademik tidak lain dari otonomi yang berkaitan dengan fungsi perguruan tinggi sebagai lembaga akademik atau fungsi memelihara dan mengembangkan ilmu. Otonomi pengelolaaan berkenang dengan kedudukan keperguruan tinggi sebagai badan atau satuan organisasi. Menurut Bagir Manan, pengaturan dalam undang-undang dua aspek otonomi tersebut, hanya sekedar memberi bentuk hukum sesuatu keadaanyang sudah semestinya begitu. Dengan perkataan lain, mengatur otonomi perguruan tinggi dan memberikan status sebagai badan hukum, baik akademik maupun pengelolahan, bukanlah suatu bentuk penciptaam (rechtshepping) melainkan sekedar pengakuan secara umum (rechtserkenning) terhadap sesuatu yang ada bahkan sebagai suatu kemustian. Mengapa?

a.    Tentang otonomi akademik.

Ungkapan-ungkapan seperti jaminan dan perlindungan kebebasan ilmiah, kebebasan mimbar ademik, merupakan wujud kemandirian, atau otonomi akademik. Otonomi akademik merupakan ciri suatu lembaga akademik, perguruan tinggi. Bahkan suatu masa, karena begitu besarnya otonomi perguruan tinggi dijuluki sebagai bertengger di menara gading. Dengan demikian, otonomi akademik merupakan bawaan alamiah fungsi perguruan tinggi sebagai penyelenggara pendidikan tinggi.

b.    Tentang otonomi pengelolaan atau otonomi kelembagaan.

Ini bukan sesuatu yang baru. Sudah sejak dahulu perguruan tinggi membuat aturan-aturan rumah tangga sendiri sebagai wujud fungsi otonomi di bidang pengaturan, seperti pengaturan Senat Universitas dan lain-lain. Begitu pula fungsi pengelolaan, salah satu kemandirian atau otonomi yang telah mentradisi yaitu pengelolaan di bidang keuangan. Perguruan tinggi menerima dan menetapkan sendiri berbagai macam pungutan terhadap siswa dan mempergunakan secara lansung tanpa terlebih dahulu distorkan kepada Negara, dalam hal ini kas Negara. Dalam sejarah otonomi, kemandirian membelanjakan sendiri keuangan merupakan pengertian dasar otonomi. Dikatakan, hakekat otonomi adalah membelanjakan sendiri. Kalau sudah jadi pembawaan, mengapa harus ada undang-undang yang mengatur megenai otonomi perguruan tinggi? 

Salah satu persoalan otonomi adalah tarik menarik antara kecendrungan sentralisasi dengan kecendrungan desentralisasi. Kecendrungan sentralisasi tidak hanya melalui pranata pengawasan, tetapi juga melalu bentuk campur tangan terhadap otonomi. Dalam keadaan demikian, satuan otonomi akan menunjukkan ketidak berdayaan. Makin kuat kecendrungan sentralisasi maka makin lemah otonomi. Dapat juga terjadi sebaliknya, otonomi dijalankan secara berlebihan, seolah-olah menjadi satuan merdeka lepas dari ikatan kesatuan Negara yang menaungi otonomi. Inpun tidak boleh terjadi. Untuk menjamin agar otonomi tetap dapat diajalankan dan dikembangkan dengan sehat, perlu pengaturan untuk mengatur tata hubungan yang harmonis dan berimbang antara otonomi dan satuan pemerintah yang lebih tinggi. Karena itu perlu diatur dengan undang-undang.

Dari uraian di atas, tidak benar otonomi perguruan tinggi bertentangan dengan UUD 1945. Pertama; otonomi bukanlah sebuah kebebasan yang terlepas dari kesatuan Negara. Kedua; pelaksanaan urusan rumah tangga otonomi tidak perlu bertentangan dengan peraturan dan kebijakan satuan pemerintah yang lebih tinggi. Ketiga; dalam otonomi melekat pengawasan dari satuan pemerintah yang lebih tinggi. Keempat; pemerintah pusat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi Negara sewaktu-waktu, mengurangi, mencabut atau menambah urusan rumah tangga daerah.

Otonomi juga tidak menyebabkan biaya pendidikan mahal, karena secara filosofis, otonomi justru untuk memudahkan dan mendekatkan pelayanan, akses terhadap public. Mengenai kemungkinan mahal, maka hal ini diatasi melalui. Pertama; pengawasan. Kedua; anggaran biaya Negara. Ketiga; berbagai skema seperti system mahasiswa undangan, skema untuk calon mahasiswa yang kurang mampu, atau pinjaman belajar yang akan dibayar setelah bekerja, atau beasiswa. Keempat; Negara atau pemerintah pusat bersama-sama perguruan tinggi menetapkan biaya yang dapat dipungut dari mahasiswa.

2.    Tentang badan hukum perguruan tinggi

Telah dikemukakan: provinsi, kabupaten, kota, sebagai satuan otonomi territorial adalah badan hukum. Demikian pula waterschappen dan bedrijfschappen sebagai satuan otonomi fungsional adalah badan hukum. Jadi badan hukum merupakan sesuatu yang melekat pada satuan otonom atau satuan yang mempunyai hak otonomi. Alasannya adalah untuk memungkinkan satuan otonom mengelola sendiri urusan rumah tangga otonomi dan dapat bertindak di depan hukum sebagai subyek hukum.

Adapun badan hukum perguruan tinggi negeri adalah termasuk badan hukum publik. Selain karena tetap menjalankan fungsi pemerintahan, juga tetap merupakan bagian atau unsur penyelenggara pemerintah (supra).

Apakah negara atau pemerintah tidak berwenang atau sekurang-kurangnya merupakan tindakan melampaui wewenang mendirikan badan-badan hukum semacam itu? Menurut Bagir Manan, sama sekali tidak. Memberikan status badan hukum pada perguruan tinggi tertentu merupakan cara mewujudkan otonomi akademik yang memberikan keleluasaan untuk bertindak sendiri dalam batas-batas yang ditentukan negara atau pemerintah. Seperti halnya daerah otonom, badan hukum perguruan tinggi tidak terpisah dari kesatuan pemerintahan, sehingga tetap dalam control dan wajib melaksanakan segala fungsi pemerintahan di bidang pendidikan.

Badan hukum perguruan tinggi tidak bertentangan dengan UUD 1945. Pemerintah memiliki wewenang dan kebebasan mengatur dan mengurus tata kelola pemerintahan, sebagaimana juga negara memiliki wewenang dan kebebasan mengatur tata kelola fungsi-fungsi pemerintahan lainnya. Negara memang bertanggung jawab mencerdaskan bangsa antara lain melalui menyelenggarakan perguruan tinggi. Tetapi UUD 1945 tidak menentukan tata cara mewujudkan tujuan dan tanggung jawab tersebut, bahkan UUD 1945 sebagai konstitusi bukanlah aturan hukum yang tidak dapat disesuaikan dengan perkembangan masa. Daya hidup sebuah konstitusi sebagai the living constitusion hanya dapat bertahan apabila diisi terus untuk merespon perkembangan baru.

Pemberian status badan hukum pada perguruan tinggi tidak akan mengakibatkan negara berlepas tangan atau tidak bertanggung jawab atas perguruan tinggi yang bersangkutan. Seperti yang telah dikemukakan sebeblumnya: pertama; status badan hukum (badan hukum public) tetap menempatkan perguruan tinggi yang bersangkutan sebagai unsur pemerintah. Kedua; status badan hukum merupakan salah satu cara mewujudkan otonomi perguruan tinggi. Ketiga; negara/pemerintah tetap berkewajiban menopang perguruan tinggi yang bersangkutan di bidang keuangan baik sebagai bagian lansung anggaran belanja negara, melalui tugas-tugas pembantuan, atau melalui block grant atau specific grant yang lazim dalam penyelenggaraan pemerintahan otonom. Keempat; status badan hukum perguruan tinggi tertentu, tidak meniadakan pengawasan negara baik atas dasar hubungan otonomi maupun sebagai tanggung jawab tertinggi pendidikan.

Adapun di antaranya yang menolak seperti yang dikatakan oleh  Chan Basaruddin, menurutnya, dalam mencermati Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi (RUU-PT) versi 9 april 2012, menjadi semakin memperihatinkan. Sektor pendidikan tinggi dikelola dengan pendekatan sentralistik kekuasaan. Hampir tidak ada ruang bagi perguruan tinggi untuk mengembangkan inovasi dan kreativitas dalam membangun perguruan tinggi sesuai misi dan kekhasan institusi yang dimilikinya. Pengaturan penyelenggaraan Tri Dharma sudah cukup detil sebagai pengaturan rumpun ilmu, kewajiban menulis buku bagi dosen, pendidikan vokasi hingga jenjang doktoral, kewenangan Menteri dalam membuka/menutup program studi, hingga mutasi dosen dan lain sebagainya. Tidak hanya sampai di situ, RUU ini menyebutkan juga bahwa masih banyak ihwal lain yang akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah atau peraturan menteri. 

Dengan menggunakan teori analisis Undang-Undang Dasar Pasal31 yang digunakan dalam menganalisis pasal-pasal Undang-Undang No. 12 tahun 2012 tentangPendidikan Tinggi disimpulkan bahwa: 

  1. Otonomi Pendidikan tinggi yang diatur dalamUndang-Undang Pendidikan Tinggimengedepankan otonomi akademik maupun non-akademik akan menciptakanpenyelenggaraan pendidikan dengan biayayang tinggi. Dengan minimnya alokasianggaran pendidikan yang diberikan pemerintah kepada perguruan tinggimengharuskan perguruan tinggi mencari cara untuk menutupi biaya operasionalpendidikan. Sehingga perguruan tinggibadan hukumakan membebankan biayapendidikan kepadamahasiswa berupapembukaan jalur-jalur penerimaanmahasiswa sepertijalur mandiri, paralel danekstensi serta menarikdana daripeserta didik sepertiAdmission Fee, Biaya Operasional Pendidikan Berkeadilan, Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik, Dana Pengembangan Lembaga, BiayaPeningkatan Mutu Akademik,Dana Pengembangan Pendidikan, dan SumbanganPengembangan Fasilitas Pendidikan.
  2. Otonomi pengelolaan pendidikan tinggi yang berbentuk badan hukummaupunBadan Layanan Umumpendidikan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 12Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi sama denganotonomi pengelolaanpendidikan formal dalam UU Badan HukumPendidikanyang telah dibatalkanpada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 tanggal31 Maret 2010. Pemberian otonomi pendidikan tinggi baik dalam bentuk pengelolaan Badan Layanan Umum ataupun badan hukummerupakan bentuk pelanggaranterhadap Undang-Undang Dasar 1945.Karena didalamUndang-Undang Dasar 1945 menetapkan pemerintah sebagai penanggung jawab penuh ataspenyelanggaraan pendidikan nasional termasuk pendidikan tinggi.
  3. Otonomi perguruan tinggi yang diatur dalamUndang-Undang Pendidikan TinggiNo. 12 Tahun 2012 pasal 73 membukakesempatan untuk mengelola berdasarkanprinsip otonomi akan memungkinkan dibukanya jalur-jalur penerimaanmahasiswabaru seperti jalur mandiri, parallel dan ekstensi (percepatan). Dengan demikian,menciptakan disksriminasi pada penyelenggaraan pendidikan dan menciptakanpenyelenggaraan pendidikan dengan harga yang mahal.
  4. Otonomi perguruan tinggi yang diatur dalamUndang-Undang Pendidikan TinggiNo. 12 Tahun 2012 pasal 74 hanya menjamin 20% dari total mahasiswa untukmampu memperoleh pendidikan tinggi. Adanyapembedaan kelas sosial pesertadidik yang mampudan tidak mampusecara ekonomi atau miskinmenegaskan paradigm Undang-Undang Pendidikan Tinggitetapmenanamkan benih pembedaankelas sosial danmenegaskan bahwakeikutsertaan masyarakat dalampendidikan jelas harus dibiayai sendirioleh warga negara.
  5. Dalam Pasal 85 merupakan perwujudan mengikutsertakan peran masyarakat dalammenyelenggarakan pendidikan tinggi. Penyelenggaraan pendidikan tinggi dengan pinsip otonomi pengelolaan di bidang nonakademik oleh perguruan tinggi akanmemungkinkan terciptanya pendidikan tinggiyang hanya diakses dengan biayamahal. Perguruan tinggi memiliki kewenangan menetapkan jenis biayapendidikandi luar biaya penyelenggaraanpendidikan sepertiAdmission Fee, Biaya Operasional Pendidikan Berkeadilan, Sumbangan Peningkatan MutuAkademik, Dana Pengembangan Lembaga, Biaya Peningkatan Mutu Akademik, DanaPengembangan Pendidikan, dan Sumbangan Pengembangan Fasilitas Pendidikan.Biaya-biaya tersebut pada umumnya jauh lebihmahal daripada biayaSPP yang ditetapkan oleh perguruan tinggi.Dengan demikian, masyarakat dengan ekonomimenengah keatas yang mampu memperoleh pendidikan tinggi. 
  6. Pemberian insentif kepada dunia usaha, masyarakat, dan perorangan untuk memberikan bantuan kepada Perguruan Tinggimenyebabkan dekonstruksi padadunia pendidikan tinggi Indonesia. Pembentukan pendidikan tinggi yang berkualitas menjadi pendidikan tinggi yang menerapkan pradigma dunia usahayang mengutamakan profit oriented.
  7. Undang-Undang Pendidikan Tinggi No. 12 Tahun 2012 Pasal 90 membuka peluang adanya persaingan yang tidak seimbang antara perguruan tinggi swasta di dalam negeri dengan perguruan tinggi dari negara-negara luar. Dengan munculnya perguruan tinggi dari negara-negaraluar akan memungkinkan sepinyapeminat peserta didik untuk belajar diperguruantinggi swasta dalam negeri. Hal inidikarenakan perguruan tinggiluar negeri yang dapat menyelenggarakan pendidikantinggi di Indonesia tentunya memiliki akreditasi yang baik dan mapan secarapengelolaan keuangan.

Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas maka pemerintah harus bertindak untuk mengembalikan amanat konstitusi dalam menyelenggarakan pendidikan, seperti dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi, ”…Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan NegaraIndonesia yang melindungisegenap Bangsa Indonesia danseluruhtumpah darah Indonesia danuntuk memajukan kesejahteraan umum,mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikutmelaksanakan ketertibandunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadidan keadilan sosial,...”Serta Undang-Undang Dasar 1945 Amandemenke IV Pasal 31, dinyatakan bahwa: 1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. 2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. 3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikannasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak muliadalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang. 4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatandan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. 5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

D.    Paradigma Jabatan Pengawas Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah 

Di masa lalu, pengawas pendidikan dikenal dengan sebutan penilik. Dalam system pemerintahan sentralistis, penilik melaksanakan pengawasan secara top down. Setiap kebijakan yang dibuat pusat, harus dilaksanakan di sekolah. Pendekatan pengawasan lebih kepada inspeksi yang membandingkan kondisi nyata dengan aturan hukum, undang-undang, atau kebijakan pemerintah pusat. Kreasi dari guru kurang diperhatikan. Otonomi daerah memberikan dampak besar terhadap pengelolaan pendidikan. Kewenangan pengelolaan pendidikan diberikan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota. Bupati dan walikota harus mengatur penyelenggaraan pendidikan di daerahnya. Pemerintah pusat telah menetapkan standar minimal dalam penyelenggaraan pendidikan secara nasional. Pengembangan dan pengayaan dalam penyelenggaraan pendidikan dapat mengakomodasi potensi khas daerah.

Pengawas nampak menjadi jabatan karier bagi guru dan kepala sekolah. Dalam kerangka otonomi daerah, maka promosi jabatan guru ini menjadi kewenangan bupati/walikota. Seyogyanya jabatan kepala sekolah dan pengawas ini diisi oleh guru yang memang memenuhi kriteria administratif dan profesional. Tentu saja pengisian jabatan pengawas pun menjadi rawan nuansa politis. Jabatan pengawas pendidikan yang strategis membawahi sekolah, kepala sekolah, dan guru-guru, menggiurkan bagi bupati/walikota untuk menjadikannya alat politik.

Beberapa pihak menerangkan bahwa guru-guru yang menjadi tim sukses bupati/walikota, akan menjadi prioritas di dalam pengisian jabatan kepala sekolah dan pengawas. Sedangkan mereka yang tidak demikian, akan sulit mengembangkan kariernya dalam jabatan itu. Laode Ida (2011) mensinyalir institusi sekolah saat ini telah menjadi alat politik baru bagi para politisi di tingkat daerah. Institusi sekolah yang khususnya berada di daerah-daerah telah terjebak oleh pragmatisme politik lokal di seluruh Indonesia. Namun tidak terjadi di kawasan kota-kota besar semisal Jakarta.

Guru-guru, kepala sekolah dan institusi sekolah merupakan bagian dari kelas-kelas elit yang sangat berpengaruh dalam pola perpolitikan lokal di tingkat desa maupun kota yang masuk kategori menengah ke bawah. Sehingga, perangkat-perangkat seperti kepala sekolah dan guru-guru menjadi alat yang penting bagi pemilihan kepala daerah saat ini. Hal ini terkadang menjadi bagian dari kesempatan para guru yang memiliki kedekatan dengan para calon kepala daerah atau pun incumbent untuk mendekatkan dirinya kepada kekuasaan lokal, sehingga setelah itu mereka memperoleh jabatan-jabatan strategis. Hal ini seringkali menjadi kendala psikologis bagi para guru dan kepala sekolah di masa-masa pemilihan kepala daerah yang membuat mereka tidak tenang dalam bekerja. Sudah biasa terjadi di daerah, bila selesai masa pilkada, terjadi mutasi besar-besaran. Selayaknya pendekatan profesional lebih ditingkatkan, selain pendekatan kesetiaan dan kepatuhan pada peraturan perundang-undangan.

E.    Kekuatan dan Kelemahan Desentralisasi Pendidikan 

Beragam permasalahan muncul dalam pelaksanaan desentralisasi pendidikan: sejalan dengan desentralisasi pemerintahan daerah adalah:
  1. Pendelegasian wewenang dari pemerintah ke kabupaten/kota cenderung menonjolkan pendekatan aspek kekuasaan daripada aspek pelayanan. Penyerahan hampir semua kewenangan operasional bidang pendidikan (UU Nomor 22 tahun 1999 pasal 11) berpotensi menjadikan pemerintah kabupaten/kota menjadi penguasa tanpa batas jika tidak diimbangi pengembangan institusi dan SDM daerah melalui capacity building (pembentukan karakter), dan dalam melaksanakan fungsi pelayanan daerah tidak melengkapi dengan standar pelayanan minimum yang memadai sebagai sarana kontrol.
  2. Penyerahan kewenangan pendidikan ke daerah kabupaten/kota dengan kekuatan dan potensi masing-masing yang sangat beragam berpotensi menciptakan disintegrasi bangsa antardaerah. Keberagaman ini cenderung akan menjadi faktor negatif terhadap persatuan bangsa, jika tidak diimbangi dengan pendidikan karakter bangsa yang dibakukan secara nasional (melalui PKn, Sejarah nasional, Pendidikan Agama) yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah.
  3. Kewenangan kabupaten/kota yang sangat besar dan kewenangan propinsi yang sangat terbatas cenderung akan menimbulkan ketimpangan antar kabupaten/kota dalam pelayanan masyarakat bidang pendidikan. Kewenangan propinsi yang dibatasi cenderung mengakibatkan pelayanan lintas kabupaten/kota semakin terabaikan terutama pelayanan pendidikan yang fasilitasnya terbatas dan tidak dimiliki setiap kabupaten/kota.
  4. Salah satu tujuan desentralisasi adalah untuk meningkatkan efisiensi pelayanan pendidikan, dengan menempatkan fungsi pelayanan pada para pengelola pendidikan yang paling dekat dengan masyarakat. Beberapa pelayanan pendidikan, khususnya pendidikan massal mungkin lebih efisien dilakukan kabupaten/kota, sebaliknya pelayanan pendidikan luar biasa atau pendidikan menengah umum berorientasi mutu, lebih efisien jika pelayanan pendidikan dilakukan propinsi.
  5. Kewenangan wajib harus diartikan sebagai tanggung jawab pelayanan publik dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kewenangan wajib bukan merupakan pembagian kewenangan dalam bentuk kekuasaan, tetapi pembagian tugas dan tanggung jawab pelayanan kepada publik. Kewenangan harus bersifat dinamis, sewaktu-waktu dapat dipindahkan, ditarik kembali ke pusat, atau diswastakan, tergantung hasil evaluasi efektivitasnya.
  6. Istilah kewenangan wajib mengandung resiko penyalahgunaan kekuasaan, sehingga fungsi pelayanan terabaikan. Oleh karenanya konsep kewenangan wajib sebagai tanggungjawab dalam pelayanan publik lebih tepat disebut pelayanan wajib (Depdiknas, 2003).

Berbagai permasalahan di atas memunculkan pula beragam kesenjangan yang terjadi dalam pelaksanaan desentralisasi pendidikan:
  1. Kesenjangan antara pemerintah kabupaten/kota dengan sekolah (lembaga pendidikan). Pelaksanaan UU nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah telah memberikan kewenangan urusan penyelenggaraan pendidikan kepada pemerintah kabupaten/kota; sementara sesuai konsep manajemen berbasis sekolah (MBS), desentralisasi pendidikan seharusnya tidak berhenti di kabupaten/kota, tetapi juga memberikan kewenangan dalam bidang-bidang tertentu kepada sekolah. 
  2. Kesenjangan antar daerah yang kaya sumberdaya manusia dengan daerah yang minim sumberdaya manusia. Pelaksanaan desentralisasi menampakkan kategori daerah:
  • Daerah yang kaya sumberdaya manusia dengan sumberdaya alam memadai
  • Daerah kaya sumberdaya alam tapi miskin sumberdaya manusia
  • Daerah kaya sumberdaya manusia tapi miskin sumberdaya alam
  • Daerah miskin sumberdaya manusia dan miskin sumberdaya alam (Depdiknas, 2003).

Implikasi dari pengkategorian daerah tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Daerah yang kaya sumberdaya manusia dengan sumberdaya alam memadai, maka daerah seperti ini dapat berjalan sendiri tanpa subsidi dari Pemerintah Pusat
  2. Daerah kaya sumberdaya alam tapi miskin sumberdaya manusia, maka daerah seperti ini perlu fasilitasi dan asistens
  3. Daerah kaya sumberdaya manusia tapi miskin sumberdaya alam, maka daerah seperti ini perlu menjual sumberdaya manusia nya kepada daerah lain
  4. Daerah miskin sumberdaya manusia dan miskin sumberdaya alam, maka daerah seperti ini perlu subsidi silang daerah lain

 BAB III
 PENUTUP

A.    Kesimpulan

Terwujudnya penyelenggaraan desentralisasi pendidikan merupakan salah satu bagian dalam implementasi desentralisasi pada penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Daerah merupakan objek dari pelaksanaan desentralisasi sedangkan bidang pendidikan merupakan salah satu urusan yang wajib dan harus dilaksanakan di daerah. Semuanya itu menjadi tanggung jawab pemerintah daerah dalam rangka memberikan pelayanan yang baik bagi masyarakat dengan standar acuannya seperti yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini.

Tujuan desentralisasi pendidikan pada dasarnya adalah untuk meningkatkan efisiensi, mutu dan pemerataan pendidikan bagi basyarakat dengan cara mengalihkan tanggung jawab dan pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah daerah. Cara untuk mewujudkan tujuan itu membutuhkan partisipasi dari berbagai faktor yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Kewenangan batasan yang diberikan pemerintah pusat kepada daerah turut menjadi faktor yang mendukung tercapainya tujuan desentralisasi pendidikan. Demikian juga dukungan masyarakat menjadi penting karena peran masyarakatlah (partisipasi masyarakat) yang menjadi salah satu ukuran terwujudnya tujuan tersebut. Tanpa adanya pemberian keleluasaan ruang yang luas bagi peran aktif masyarakat, maka desentralisasi pendidikan hanya akan berhenti pada pemerintah dan pada diskusi-diskusi akademik para elit di daerah, sehingga tidak memberikan dampak positif pada perkembangan kualitas kemandirian pendidikan di daerah.

Pada pelaksanaannya di lapangan, ada begitu banyak problem-problem mengenai desentralisasi pendidikan, diantaranya adalah mengenai pengawasan. Pengawasan pendidikan di daerah saat ini tidak berjalan efektif karena wewenang pengawasan tersebut seringkali diberikan tanggungjawab (jabatan) kepada orang yang tidak profesional. Bahkan jabatan tersebut mereka peroleh sebenarnya karena adanya praktek balas budi dari pemerintah ketika dibantu oleh tim suksenya dalam memenangkan pemilihan kepala daerah. Bukan semata-mata karena murni keahlian atau profesionalisme mereka dalam merangkap jabatan sebagai pengawas daerah. Demikian juga kasus tentang otonomi perguruan tinggi, beberapa kampus masih memiliki beberapa kendala atau masalah yang dihadapi, seperti kualitas sumber daya manusia yang terbatas, sikap dan budaya kerja yang kurang disiplin, terbatasnya sumber daya pemerintah untuk menyediakan biaya operasional tahap awal dan lain sebagainya. Ditambah lagi adanya pro dan kontra mengenai otonomi perguruan tinggi. Dan masih banyak permasalahan-permasalah yang lain mengenai desentralisasi pendidikan yang belum bisa dinahas dalam makalah ini. Oleh karena itu, dari berbagai macam permasalah tersebut, tanpa adanya kerjasama antara berbagai pihak, mulai dari pemerintah pusat (pemberi wewenang), pemerintah daerah (penanggung jawab), dan masyarakat maka tujuan dari desentralisasi pendidikan akan sulit terwujud. Efisiensi yang awalnya diharapkan bisa berjalan dengan baik bahkan bisa menjadi tambah rumit. Apalagi kalau ada oknum yang tidak bertanggung jawab dan mengambil kesempatan mengambil keuntungan demi kepentingan pribadi, tentu itu sangat tidak bijak untuk dilakukan.

Pemerintah daerah, pihak sekolah, lembaga pendidikan dan pihak-pihak yang terkait harus lebih siap mengahadapi dan menerima dalam melaksanakan desentralisasi pendidikan, termasuk kesiapan aparatur pemerintah daerah dalam melaksanakan desentralisasi pemerintahan daerah, agar tidak terjadi kegagapan birokrasi. Wallahu a’lam

DAFTAR PUSTAKA

E.Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2012)
Hasbullah, Otonomi Pendidikan: Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2010)
http://luk.staff.ugm.ac.id/atur/UU12-2012/ diakses pada tanggal 13 November 2015 jam 16:35
Irianto. Sulistyowati, Otonomi Perguruan Tinggi Suatu Keniscayaan, (Jakarta, Yayasan Pustaka Obor Indonesia anggota IKAPI DKI Jakarta, 2011)
Khairul Ikhwan Damanik dkk, Otonomi Daerah, Etnonasionalisme dan Masa Depan Indonesia, (Jakarta, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2012)
Soedjoko. Edy , Menuju Kemandirian Lembaga Pendidikan, Jurnal Matematika dan Komputer, Volume 5. No. 2, 86-96 Agustus 2001.
Sutapa. Mada,  Perspektif Desentralisasi Pendidikan dalam Konteks Desentralisasi Pemerintahan Daerah, (Jurnal Manajemen Pendidikan) Edisi Oktober 2005
Tarigan.Yossi Hagaita, Kebijakan Pendidikan Tinggi di Indonesia (Analisis Kebijakan Undang-Undang Pendidikan Tinggi No. 12 Tahun 2012, Skripsi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Departemen Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara 2013.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kebijakan (Policy) dan Problem Desentralisasi Pendidikan di Indonesia"

Posting Komentar