FALSIFIKASI : KARL POPPER

FALSIFIKASI : KARL POPPER

Oleh: Difa’ul Husna          

BAB I 

PENDAHULUAN


A.    LATAR BELAKANG 

Penarikan kebenaran suatu teori ramai diperbincangkan oleh para filosof. Bagaimana induksi dan juga deduksi menjadi perbicangan dalam proses pembangunan pengetahuan.

Gagasan Popper terutama yang menyangkut gagasannya untuk mensistemasikan cara pertumbuhan ilmu pengtahuan lewat koreksi atau kesalahan amatlah menarik. Para pemikir lain bukan tidak menyadari sifat falsifiabilitas pengetahuan manusia, namun kiranya Popper-lah yang menggarap kenyataan itu dan mengangkatnya menjadi teori metodologi

Oleh karena itu, sudah sepantasnya  pemikiran Popper dengan wawasannya yang mendalam atas kenyataan manusia itu dipelajari secara total dalammemahami filsafat di masa yang akan dating. Dalam melancarkan kritiknya terhadap teori induktivisme yang dianggap sebagai teori ilmiah paling baik, Popper mengeluarkan teorinya sendiri yang diskenal dengan teori falsifikasi

B.    RUMUSAN MASALAH

1.    Bagaimana biografi Karl Raimund Popper?
2.    Bagaimana teori falsifikasi menurut Karl Raimund Popper?

C.    TUJUAN PENULISAN MAKALAH

1.    Mengetahui biografi Karl Raimund Popper
2.    Mengetahui konsep teori falsifikasi menurut Karl Raimund Popper


BAB II

PEMBAHASAN


A.    Biografi Karl Raimund Popper

Nama lengkapnya Karl Raimund Popper, ia lahir di Wina pada tahun 1902. Ketika umurnya 17 tahun, ia sempat menganut komunisme, tetapi tidak lama kemudian ia meninggalkan aliran politik ini, dengan alasan karena para penganutnya hanya menerima begitu saja suatu dogmatism yang tidak kritis. 

Pendidikannya ia tempuh di Universitas Wina. Disana ia mempelajari banyak bidang, seperti kesusastraan, sejarah, filsafat, ilmu kedokteran dan psikologi. Tahun 1928 ia meraih gelar Doktor filsafat. Tahun 1935 dan 1936, berturut-turut ia mengajar di beberapa tempat di Inggris. Tahun 1937, karena totaliterisme Hitler yang menjalar ke Austria, Popper meninggalkan Austria dan mencari pekerjaan di luar Negeri, yaitu disebuah universitas di Christchurch, Selandia Baru. 

Usai Perang Dunia II, Popper diangkat sebagai dosen di London School of Economics. Ia kemudian memperoleh kewarganergaraan Inggris. Setelah namanya terkenal lewat karya-karyanya, ia sering diundang untuk memberikan materi kuliah di berbagai Negara di Eropa, Amerika, Australia dan JEpang. Ia sangat menikmati pekerjaannya sebagi Filsuf. 

Popper meninggal pada 17 September 1994 dalam usia 92 tahun. Sepeninggalnya perpustakaan pribadinya yang berisi sekitar enam ribu eksemplar buku dan seluruh warisan tertulisnya dibelioleh Negara Austria dan ditempatkan dalam perpustakaan Universitas Klangenfurt, Austria. Tujuan pembelian dan penempatan tersebut adalah aga apa yang telah dihasilkan oleh filsuf asal Austria itu dapat dipelajari oleh semua peminat.  

Karl Popper selain ahli di bidang sains dan politik, juga dikenal sebagai seorang yang ahli matematika dan astronomi teoritis. Buku yang paling berpengaruh adalah The Open Society and Its Enemies (1950). Karya tersebut merupakan gagasan filsafat politiknya yang amat berpengaruh hingga diterjemahkan dalam banyak bahasa, termasuk Indonesia. Di Indonesia buku tersebut diterjemahkan berjudul Masyarakat Terbuka dan Musuh-musuhnya yang diterbitkan Pustaka Pelajar Yogyakarta 2002. Gagasannya sangat brilian, bahasanya lugas dan mudah dipahami.  

B.    Teori Falsifikasi

Karl Popper terkenal sebagai seorang filsuf yang memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan sains dan ilmu social. Ia mengajukan metode baru dalam sains yang disebut teori falsifikasi atau prinsip falsifiabilitas sebagai kritik atas teori verifikasi atau prinsip verifiabilitas.  

Dalam kaitannya dengan problem filsafat ilmu, pemikiran Popper, oleh beberapa penulis sering dikelompokkan dalam tiga tema, yaitu persoalan induksi, persoalan demarkasi dan persoalan dunia ketiga. 

1.    Induksi dan Hipotesa

Bagi para praktisi ilmu, metode induksi sering tidak pernah menjadi persoalan, namun bagi pengamat, teoritisi dan filsuf ilmu, induksi selalu menjadi problem. Persoalan yang paling mendasar bagi mereka adalah bahwa metode induksi yang berangkat dari beberapa kasus particular, kemudian dipakai untuk menciptakan hukum umum dan mutlak perlu (necessary and sufficient cause).  

Kritik Popper terhadap sains yaitu mengenai metode induksi. Dalam ilmu pengetahuan tradisional, dirumuskan kesimpulan-kesimpulan atau hukum-hukum yang bersifat umum dan mutlak perlu, yang ditarik dari kasus-kasus atau bukti-bukti khusus yang serupa. Itulah yang disebut induksi. “logam yang dipanaskan akan memuai”, misalnya, merupakan perkataan dari hasil penelitian yang bersifat induktif. Dimana saja akan terjadi demikian sehingga dihasilkan hokum yang bersifat umum. 

Akan tetapi hasil dari proses induksi tersebut mempunyai kelemahan. Misalnya, seperti kritik yang dilontarkan oleh David Hume bahwa tidak ada kepastian logis di masa depan dengan merujuk kepada sebuah  kasus atau bukti yang sering terjadi. Sebagai contoh, di masa depan atau besuk, logam yang dipanaskan tidak akan memuai. Contoh lain, tidak ada kepastian bahwa besuk matahari akan terbit. Keyakinan atau pemikiran bahwa besuk matahari akan terbit merupakan kecenderungan yang bersifat psikologis, bukan keharusan logis. Disinilah letak kelemahan ilmu pengetahuan yang menyandarkan diri pada proses induksi. 

Diantara filsuf yang mempersoalkan “proses generalisasi” dengan cara induksi adalah Francis Bacon. John S. Mill juga melakukan hal yang sama, konsepnya yang diajukan adalah metode kesesuaian, ketidaksesuaian dan metode residue. Filsuf yang secara radikal menolak hal ini adalah David Hume. Sementara Popper sendiri dalam hal ini setuju dengan Hume, bahwa peralihan dari yang particular menuju yang universal itu secara logis tidak sah. 

Popper mengajukan suatu pemecahan mengenai masalah induksi & serentak mengubah paradigma tradisional tentang ilmu pengetahuan. Menurutnya, perkataan atau teori tidak bersifat ilmiah karena sudah dibuktikan, melainkan karena dapat diuji. Perkataan “semua logam akan memuai kalau dipanaskan” dapat dianggap ilmiah apabila dapat diuji dengan percobaan percobaan sistematis untuk menyangkalnya. Artinya, perkataan atau teori tersebut ilmiah jika sudah dilakukan pengujian dengan mencari bukti negative yang dapat menyangkalnya. 

Bukti sebagai penyangkalan tidak perlu banyak. Cukup satu bukti saja yang menyangkal bahwa, misalnya, ternyata ada satu logam yang dipanaskan tidak memuai, sehingga perkataan atau teori harus diganti dengan yang lebih tepat. Namun sebelum ada bukti yang menyangkal suatu perkataan atau teori, maka perkataan atau teori itu dianggap benar. Akan tetapi jika suatu perkataan atau teori telah diuji tetap tahan, berarti kebenarannya diperkukuh (Corroboration). Makin besar kemungkinan untuk menyangkal suatu perkataan atau teori, makin kukuh pula kebenarannya, apalagi kalau suatu perkataan tahan uji terus.  

Menurut Popper teori-teori ilmiah selalu dan hanyalah bersifat hipotesis (dugaan sementara), tak ada kebenaran terakhir. Setiap teori selalu terbuka untuk digantikan dengan teori yang lebih tepat. Untuk itu, Popper lebih suka menggunakan istilah hipotesa, atas dasar kesementaraannya. Upaya ini Ia sebut dengan the thesis of refutability : suatu ungkapan atau hipotesa bersifat ilmiah jika secara prinsipil terdapat kemungkinan untuk menyangkalnya (refutability). Dengan kata lain perlu adanya kemungkinan untuk menjalankan kritik. Ilmuwan yang sejati tidak akan takut pada kritik, sebaliknya ia sangat mengharapkan kritik, sebab hanya melalui kritik ilmu pengetahuan terus mengalami kemajuan.

Begitulah bagi Popper sebuah hipotesa, hukum ataupun teori kebenarannya hanya bersifat sementara, yakni sejauh belum ditemukan kesalahan-kesalahan yang ada didalamnya. Jika ada pernyataan “semua angsa berbulu putih”, melalui prinsip refutasi tersebut, hanya ditemukan seekor angsa yang berbulu selain putih maka runtuhlah pernyataan semula. Bagi Popper ilmu pengetahuan dapat berkembang maju, jika suatu hipotesa telah dibuktikan salah, sehingga dapat digantikan dengan hipotesa yang baru. Namun ada kemungkinan lain, yaitu hanya salah satu unsur hipotesa yang dibuktikan adalah untuk digantikan dengan unsur baru lain, sekaligus hipotesa telah disempurnakan.

Pandangan Popper ini sekaligus menunjukkan bahwa proses pengembangan ilmu bukanlah dengan jalan akumulasi, dalam arti pengumpulan bukti-bukti positif atau bukti-bukti yang mendukung suatu teori, sebagaimana pandangan teori neo-positivisme. Bagi Popper, proses pengembangan ilmu adalah dengan jalan eliminasi terhadap kemungkinan kekeliruan dan kesalahan (error elimination). Lebih jauh untuk membuktikan pandangannya itu, ia menggunakan bukti-bukti sejarah ilmu, dalam hal ini koreksi (error elimination) dari Einstein terhadap fisika Newton, dimana setelah diskusi beberapa waktu, para ahli kemudian sepakat dalam menerima fisika Einstein sebagai lebih memuaskan dari pada fisika Newton untuk menjelaskan gejala-gejala fisis dalam dunia kita. Sejarah ilmu ini, bagi Popper, merupakan contoh paling jelas dalam memperlihatkan bagaimana proses pertumbuhan ilmu pengetahuan. Suatu teori ilmiah tidak pernah benar secara definitive atau mendekati kebenaran, karena teori-teori lebih terperinci dan bernuansa. Selalu kita harus rela meninggalkan suatu teori, jika muncul teori yang ternyata lebih memuaskan untuk menjelaskan fakta –fakta. Bagi Popper kemajuan ilmiah itu dicapai lewat dugaan dan penyanggahan, dan semangat kritik diri adalah esensi ilmu.  

2.    Demarkasi dan falsifikasi

Problem demarkasi Popper ini berkaitan dengan upayanya mengoreksi gagasan dasar lingkaran Wina, dalam hal ini pembedaan antara ungkapan yang disebut bermakna (meaningfull) dan ungkapan yang tidak bermakna (meaningless) berdasarkan kriteria dapat atau tidaknya dibenarkan secara empiris (verifikasi-konfirmasi). Pembedaan itu digantinya dengan apa yang disebut demarkasi atau garis batas, dalam hal ini antara ungkapan ilmiah dan tidak ilmiah. Karena menurut Popper, ungkapan yang tidak bersifat ilmiah, mungkin sekali sangat bermakna (meaningfull) begitu juga sebaliknya. 

Konsepsi semacam itulah yang ditolak oleh Popper. Ia mengatakan bahwa masalah demarkasi bukan masalah penarikan garis pemisah antara ucapan yang bermakna dengan ucapan yang tidak bermakna, melainkan masalah bagaimana bisa ditarik garis pemisah  antara bidang ilmiah dengan bidang non ilmiah atau antara ilmu pengetahuan denga yang bukan ilmu pengetahuan. Menurutnya suatu ucapan atau teori disebut ilmiah jika terdapat kemungkinan untuk dibantah. Inilah cirri khas ilmu pengetahuan. Sedangkan, ucapan yang tidak ilmiah tidak dapat dibantah kebenarannya berdasarkan pengujian empiris. Inilahciri khas yang bukan ilmiah. Akan tetapi suatu ucapan yang awalnya disebut ucapan metafisika dapat menjadi ucapan ilmiah jika sudah diuji dan dites. Sebaliknya, ucapan yang sudah dianggap ilmiah, bisa menjadi tidak ilmiah jika suatu waktu nanti tidak tahan uji. Jadi perbedaan metafisika dan empiris sangat tipis.  

Popper melihat beberapa kelemahan prinsip lingkaran Wina, antara lain: pertama, prinsip verifikasi tidak pernah mungkin digunakan untuk menyatakan kebenaran hukum-hukum umum. Hukum-hukum umum dalam pengetahuan tidak pernah dapat diverifikasi. Karena seperti halnya metafisika, harus diakui seluruh ilmu pengetahuan alam (yang sebagian terdiri dari hukum-hukum umum) adalah tidak bermakna. Kedua, berdasarkan prinsip verifikasi, metafisika disebut tidak bermakna, tetapi dalam sejarah dapat disaksikan bahwa acapkali ilmu pengetahuan lahir dari pandangan-pandangan metafisis atau bahkan mistis tentang dunia. Suatu ungkapan metafisis bukan saja dapat bermakna tetapi juga benar, meskipun baru menjadi ilmiah kalau sudah diuji dan dites. Ketiga, untuk menyelidiki bermakna atau tidaknya suatu ungkapan atau teori, lebih dulu harus bisa dimengerti. Sehingga bagaimana bisa dimengerti jika tidak bermakna, lantas kemudian apa yang disebut teori?

Kiranya atas dasar ini, Popper selanjutnya mengajukan prinsip falsifikasi sebagai cirri utama teori ilmiah. Menurutnya, sebuah proposisi (ataupun teori) empiris harus dilihat potensi kesalahannya. Sejarah menunjukkan, selama teori dapat bertahan dalam upaya falsifikasi, maka selama itu pula teori tersebut tetap kokoh, meski cirri kesementaraannya tetap tidak hilang. Suatu teori bersifat ilmiah jika terdapat kemungkinan secara prinsipil untuk menyatakan salahnya. Itulah maksud dari prinsip falsifiabilitas.Suatu teori yang secara prinsipil mengekslusi setiap kemungkinan untuk mengemukakan suatu fakta yang menyatakan salahnya teori itu, menurut Popper tidak bersifat ilmiah.

Hal ini menunjukkan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan itu tidak bersifat akumulatif dari waktu ke waktu. Perkembangan dan pertumbuhan ilmu terjadi akibat dari eliminasi yang semakin ketat terhadap kemungkinan salah.pengemabangan ilmu itu dilakukan dengan uji-hipotesis sehingga bias disalahkan dan dibuang bila memang salah. Maka metode yang cocok untuk upaya ini adalah falsifikasi.

Dengan demikian aktifitas keilmuan hanya bersifat mengurangi kesalahan sampai sejauh mungkin mendekati kebenaran yang objektif. Oleh karena itu pengembangan ilmu dilakukan dengan cara merontokkan teori karena terbukti salah, untuk mendapatkan teori yang baru. Untuk itu falsifikasi menjadi metode atau alat untuk membedakan genuine science (ilmu murni) dari apa yang disebut Popper sebagai pseudo science (ilmu tiruan) karena itulah  Popper mengatakan “science is permanence and criticism is the heart of the scientific enterprise”. Jadi kriteria keilmiahan sebuah teori adalah teori itu harus bisa disalahkan (falsififability), bisa disangkal (refutability) dan bisa diuji (testability). Pemikiran Popper ini mengantarkannya dikenal sebagai epistemology rasionalisme-kritis dan empiris-modern. 

3.    Dunia tiga

Popper melihat adanya perbedaan antara proses berfikir, isi pikiran dan dunia fisik yang disajikan pada panca indera. Sehubungan dengan itu, ia sampai pada kesimpulan bahwa terdapat tiga macam dunia yang perlu dibedakan, yaitu:  
  1. Dunia I (world 1), meliputi segala sesuatu yang berupa fisik, yang dapat ditangkap dengan indera, seperti meja, kursi, buku dan lain-lain.
  2. Dunia II (world 2), meliputi segala sesuatu yang dialami secara subjektif, sepertiproses-proses pemikiran atau kenyataan psikis dalam diri manusia; dan
  3. Dunia III (world 3), meliputi hasil pikiran, seperti teori-teori, hipotesis-hipotesis dan hukum-hukum.
Menurut Popper, Dunia Tiga hanya ada selama dihayati, yaitu dalam karya dan penelitian ilmiah, dalam studi yang berlangsung, membaca buku, dalam ilham yang sedang mengalir dalam diri para seniman, dan penggemar seni yang mengandaikan adanya suatu kerangka. Sesudah penghayatan itu semuanya langsung mengendap dalam bentuk fisik, alat alat ilmiah, buku-buku, karya seni, dan lain sebagainya.  

Dengan mengendapnya itu semua maka mereka telah menjadi bagian dari Dunia Satu, namun bisa bangkit menjadi Dunia Tiga kembali berkat perhatian Dunia Dua. Dalam pandangan Popper, Dunia Tiga mempunyai kedudukannya sendiri, mempunyai otoritas dan tidak terikat baik pada Dunia Satu maupun Dunia Dua. 

Pemikiran Popper ini akan terlihat signifikansinya, terutama untuk memahami konsepnya : Falsifikasi. Jika teori mengalami gugur setelah dilakukan kritik, sudah tentu kenyataan fisis-objektif tidak mengalami perubahan. Popper ingin menghindari dua ekstrim yaitu objektivisme yang memandang hukum alam ada pada kenyataan fisis dan subjektivisme yang berpandangan bahwa hukum alam adalah dimiliki dan dikuasai manusia. Bagi Popper manusia terus bergerak semakin mendekati kebenaran.

BAB III

PENUTUP


KESIMPULAN

Popper banyak berhubungan dengan anggota-anggota lingkaran wina dan melontarkan banyak kritikan soal metode induktif yang berdasarkan fakta. Ia menyatakan, berapa pun jumlah fakta yang dikumpulkan tidak dapat menjamin sebagai sebuah kebenaran umum. 

Menurut Popper, suatu teori dikategorikan ilmiah tidak cukup dengan adanya pembuktian, tetapi ia harus dapat diuji (testable). Jika teori tersebut tidak lolos dari ujian maka teori tersebut tidak benar dan harus diganti dengan teori yang lebih tepat. Sebaliknya, jika teori tersebut bertahan dalam ujian maka kebenarannya ilmiahnya akan semakin kokoh dan terpercaya.
          

DAFTAR PUSTAKA


Arif Rahman, Masykur. Buku Pintar Sejarah Filsafat Barat, Yogyakarta: IRCiSoD, 2013.

Maksum, Ali.  Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012.

Muslih, Mohamad. Filsafat Ilmu Kajian Atas Asumsi Dasar, Paradigma Dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Belukar, 2004.

Mustansyir, Rizal & Munir, Misnal. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "FALSIFIKASI : KARL POPPER"

Posting Komentar